Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Duri dalam Daging, Angin dalam Gas

February 5, 2025 11:32
IMG-20250205-WA0029

Rosadi Jamani *)
Ilustrasi: AI/ Wak Rojam

HATIPENA. COM – Kita kincah lagi soal gas melon. Bukan kebijakan Presiden. Ramai teriak Bahlil diresuffle saja. Siapkan kopi hangat saja, soalnya isu “oke gas” ini makin panas.

Negeri ini, negeri kita. Negeri yang tak pernah kehabisan bahan tertawaan. Baru saja kita selesai menertawakan isu Pagar Laut yang ternyata cuma angin lalu, eh, muncul lagi isu baru, Gas Melon 3 kg. Ya, gas melon. Bukan buah melon yang segar, tapi tabung gas yang bikin rakyat antre sampai ada nenek meninggal kelelahan antre. Tragis? Iya. Absurd? Lebih dari itu.

Bahlil Lahadalia, sang menteri dengan senyum khas “saya-tahu-apa-yang-saya-lakukan”, tiba-tiba jadi bintang utama di panggung dagelan nasional. Tanpa sepengahuan Presiden Prabowo, ia memutuskan untuk mengubah kebijakan gas melon. Hasilnya? Kelangkaan massif. Antrean panjang. Tapi Bahlil? Tetap cengengesan. Seolah ia baru saja memenangkan laga catur politik nasional.

Presiden Prabowo, yang mungkin sedang sibuk memikirkan Makan Bergizi Gratis dan Swasembada Pangan, akhirnya merespons. Lewat Sumi Dasco, ia bilang, “Ini bukan kebijakan saya.” Bukan kebijakan Presiden. Tapi Bahlil, tak mau kalah. Ia bilang, kebijakannya sudah dikaji sejak 2023. Hasil audit BPK, penyaluran subsidi gas melon tidak tepat sasaran. Ya, kajian mendalam, katanya. Kajian apa? Kajian bagaimana cara bikin rakyat makin susah?

Rakyat kecil? Mereka cuma bisa gigit jari. Sambil antre gas melon, mereka mungkin bertanya-tanya, “Apa salah kami sampai harus hidup di negeri yang dipimpin oleh orang-orang yang lebih peduli pada citra politik daripada kebutuhan rakyat?”

Tapi, jangan harap Bahlil akan dicopot. Dia pentolan Golkar. Mencopotnya berarti membuka kotak Pandora politik. Prabowo pasti mikir seribu kali sebelum melakukan itu. Bahlil tetap aman di kursinya. Meski rakyat menderita. Bahlil tetap bisa tersenyum lebar di depan kamera.

Inilah negeri kita. Negeri di mana kebijakan absurd jadi tontonan sehari-hari. Negeri di mana politisi lebih peduli pada kursi mereka dari rakyat yang memilih mereka. Negeri di mana gas melon bisa bikin heboh, sementara masalah-masalah besar lainnya cuma jadi bahan candaan.

Mari kita tertawa. Karena jika tidak tertawa, kita mungkin akan menangis. Atau lebih buruk lagi, kita mungkin akan marah. Kemarahan di negeri ini? Itu bisa jadi bahan untuk cerita absurd berikutnya. (*)

#camanewak
*) Ketua Satupena Kalbar