Episode 5
HATIPENA.COM – Tanpa terasa tiga tahun sudah secara resmi perceraian itu berlangsung. Jay kembali ke Qatar untuk menyelesaikan kontrak kerja entah sampai kapan. Lia pun kembali ke Australia untuk menyelesaikan pasca sarjananya, setelah menikah dengan mualaf bule dari New Zealand.
Mereka melanjutkan hidup dengan tenang, tak ada lagi gap dan kesalahpahaman yang menyiksa. Semua berkat Dewi Indisari. Meskipun Dewi selalu merendah jika Saribanon menyatakan rasa terima kasihnya. Dewi mengatakan bahwa semua itu bukan karena dirinya, melainkan atas perkenan Allah Swt yang telah memperjumpakan mereka.
Orang sebaik dan semulia itu apakah harus dihujat-hujat dengan tuduhan menganut aliran Syiah? Lagipula mengapa tidak tabayyun, cek dan ricek? Asal menuduh, fitnah begitu saja atas dasar apakah gerangan?
“Duh, duh, mengapa segalanya mendadak Syiah, ya Nak?” Saribanon mengesah.
“Entahlah, Bunda,” keluh Haz.
“Umat Islam sedang dipecah belah….”
“Benar sekali, Bunda. Dari hari ke hari semakin parah saja.”
“Belum pernah terjadi dalam sejarah Republik ini….”
Beberapa jenak keduanya membiarkan hening menggayut di jalanan yang mereka lintasi. Suasana jalan tol Jagorawi padat merayap.
“Parahnya, mereka juga menuduh Bunda sebagai pengikut Syiah!” pernyataan tiba-tiba Haz kembali menghentak.
“Apaaa?!” Saribanon kali ini benar-benar terkejut.
“Iya, makanya, ini lihatlah!” Haz kembali menyodorkan ponsel yang tak dipedulikan Saribanon.
Gemetar Saribanon menerima ponselnya, kemudian sekilas-sekilas mencermati komentar yang berlintasan di wall FB dan Twitter.
“Astaghfirullahal adziiiim…. Ini sudah berlebihan parah!” geram Saribanon, seketika serasa ada gigilan hebat menggerayangi sekujur tubuhnya dan memasuki relung-relung hatinya.
“Tenang, Bun, tenang. Insya Allah kami akan mengantisipasi. Buat apa ada Admin kalau tidak becus mengurus hal beginian,” kata Haz buru-buru menenangkannya.
“Apakah kita perlu membuat pernyataan?”
“Ya, kami akan menanganinya, tenanglah. Tadi saya memberi tahu sekadar laporan saja,” pungkas anak muda yang kini sedang melanjutkan kuliah di perguruan tinggi kesenian itu meyakinkannya.
Perempuan sebaya ibunya ini sungguh disayanginya, tak ubahnya menyayangi ibu sendiri. Haz banyak berutang budi, sudah diajak ke Jakarta, dipenuhi segala keperluan sehari-harinya, dikuliahkan pula.
“Sungguh kamu bisa menanganinya, Nak?”
“Ya, saya dengan Agus dan Bang Jay sudah menanganinya.”
“Jay, ikutan jugakah?”
“Bang Jay kan konsultan kita, Bun.”
“Oh, ya….” Lega dan bahagia rasanya mengetahui putranya sudah ada perhatian, kepedulian terhadap aktivitasnya.
“Semalam kami rapat online dengan Mbak Lia juga.”
Sekilas Haz menjelaskan hasil rapat antar benua dengan beda waktu yang cukup signifikan. Tim medsos Saribanon Ayuningtyas lebih meningkatkan lagi kinerjanya. Meskipun nyaris tidak diberi honor selain yang telah diberikan secara rutin, mereka menyatakan siap menjalankan amanah.
“Jadi, sekarang Bang Jay dan Mbak Lia ikut memantau apapun yang berkaitan dengan aktivitas Bunda.”
Saribanon manggut-manggut penuh rasa haru. Kedua anak bergabung dengan Yayasan yang digelutinya sekarang, demikianlah yang diinginkannya lebih dari apapun.
“Selama aku pergi, tolong tengok anak-anak asuh kita di Sumedang, ya Nak,” pesannya sebelum mereka berpisah di Bandara Halim.
“Siaaaap, Bunda, eh, insya Allah!” janji Haz menyalaminya takzim.
Perjalanan keliling Lombok kali ini dilakoninya seorang diri. Beberapa tahun terakhir, ia telah mencanangkan satu program yang diberinya nama Gerakan Santri Menulis.
Ia mengawalinya setiap bulan Ramadhan. Selama tiga pekan Ramadhan, ia akan berkeliling ke pondok-pondok pesantren di Tanah Air.
Ia melakukannya dengan senyap, tanpa banyak berkoar dan hanya menggandeng beberapa orang murid dalam pelaksanaannya. Kelas menulis di kalangan santri ini bertujuan untuk mencetak para penulis Islami.
“Untuk apa, coba, Mam?” tanya Lia sepulang lintas Sumatera, tiba-tiba ia ambruk hingga diangkut ke rumah sakit. “Tiga minggu keliling pesantren dari ujung ke ujung, sendirian pula. Tahu-tahu ambruk begini.”
Ketika pertama melaksanakannya ia masih terikat pernikahan dengan lelaki itu. Hal inipun telah membuat kekisruhan lain di antara sekian kekisruhan yang menimpanya.
“Pake istilah sok tarbiyah segala,” ejek lelaki itu.”Bilang sajalah, kau memang mau cari brondong di pesantren. Dasar perempuan binal!” lanjutnya menuding dengan kata-kata kejinya.
“Maafkan Mama sudah merepotkanmu,” lirih Saribanon menyesal.”Seharusnya Mama tidak minta tolong kepadamu, ya….”
“Bukan masalah,” tukas Lia yang saat itu sedang sibuk persiapan berangkat ke Australia.”Yang masalah adalah tujuan Mama melakukan ini buat apa, coba Ma? Mama kan tidak muda lagi, status Mama sendirian. Kalau kami sudah jauh, siapa yang mau mengurus Mama?”
“Ada Gusti Allah, Nak. Kali ini saja Mama lagi dapat ujian sakit. Biasanya juga Mama sehat-sehat saja.”
Saat itu anak-anak sudah memutuskan untuk merantau. Jay menerima tawaran kerja di Qatar. Lia melanjutkan pascasarjana di Canberra. Sebagai seorang ibu, ia tak ingin menghambat, lebih memilih merestui dan mendoakan anak-anak, apapun pilihan hidup mereka.
“Mama hanya ingin melihat lebih banyak lagi penulis tangguh dari kalangan santri,” paparnya berusaha menjelaskan tujuan program kelas menulisnya.
“Iya, untuk apa, Ma?” cecar Lia.
“Agar banyak karya indah Islami di Tanah Air.”
“Ah, Mama, biarlah itu dilakukan mereka, para penulis muda.”
“Mama kepingin ikut andil memotivasi santri agar menulis. Agar mereka bisa menjawab tantangan kaum liberal, Nak,” ujarnya bersemangat.”Buku karya mereka yang anti Islam semakin marak. Paham-paham liberal, feminis, komunis semakin banyak diterbitkan. Harus ada banyak pula buku yang meluruskannya, mencerahkan….”
Itu benar adanya, setiap kali singgah ke toko buku besar, hatinya senantiasa miris. Di matanya dari saat ke saat buku yang bertemakan anti Islam, merusak dan menyesatkan itu semakin marak saja.
Memang, buku-buku yang ia lahirkan semakin banyak. Namun, bukan buku pemikiran. Ia merasa tidak punya kemampuan untuk menulis buku yang berat-berat begitu. (*)
Bersambung