Ilustrasi : AI/ LK Ara
Puisi : LK Ara
Puisi Ketiga dari “Dinding di Tengah Ombak”
Aku masih berada di Bur Mesir,
menyaksikan Sungai Pesangan
mengalir tenang,
dan Danau Laut Tawar berkaca langit
dalam senja yang mewarnai cakrawala.
Di atas laut yang masih bernapas,
mereka berbisik dalam senyap,
bukan tentang nelayan yang kehilangan jalan,
bukan tentang ombak yang kehilangan pantai,
tetapi tentang garis-garis baru
yang diam-diam ditorehkan di peta.
Malam itu, angin membawa kabar,
tentang pertemuan di meja panjang,
di mana laut ditimbang dengan angka,
dan gelombang dipaksa tunduk pada tanda tangan.
Lalu pagi datang,
pasir yang kemarin bernama pantai
hari ini berganti dalam lembar sertifikat.
Tak ada yang tahu kapan ia dijual,
tak ada yang tahu siapa yang menjual,
tapi kini tanah itu bukan lagi milik ombak,
bukan lagi tempat perahu berteduh,
melainkan sebidang hak milik
yang tak lagi mendengar nyanyian nelayan.
Mereka datang dengan senyum,
seperti ombak yang pura-pura ramah,
berkata ini demi pembangunan,
demi kemajuan, demi masa depan.
Namun, di tepi pantai yang semakin jauh,
seorang nelayan tua bertanya lirih:
“Lalu ke mana harus kulempar jala?”
Tapi di balik kepungan rakus,
seorang pemimpin cerdas telah berdiri.
Ia mendengar suara nelayan,
ia membaca gelombang yang gelisah.
Lalu, dengan tinta yang sama,
ia membatalkan sertifikat itu,
seperti angin yang menghapus jejak di pasir,
mengembalikan laut kepada ombak,
mengembalikan pantai kepada nelayan.
Dan laut yang dulu luas tak terbatas,
kini kembali bernyanyi di antara dermaga,
sebab keadilan bukan sekadar janji,
sebab rahmat Tuhan tak bisa diperjualbelikan.
Sambil mereguk kopi di Bur Mesir,
aku pun tersenyum dalam diam,
menatap ombak yang kembali bebas,
seraya berdoa dalam hati:
“Semoga tak ada tangan serakah yang kembali menancapkan batas baru.”
Kalanareh, 2 Februari 2025