Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Yang Terhormat, Tidak Terhormat

February 10, 2025 07:06
IMG-20250210-WA0043

Ilustrasi : Meta AI/ Rizal Pandiya
Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya

HATIPENA.COM – Anggota DPD RI. Mereka yang terpilih dalam pesta demokrasi, disebut “wakil daerah,” yang seharusnya menjaga marwah kehormatan lembaga tinggi negara itu.

Tapi kini, kabar berembus kencang, seperti petir di siang bolong: 95 anggota DPD RI periode 2024–2029 diduga menerima suap dalam pemilihan pimpinan DPD RI dan MPR RI.

Di antara mereka, ada anggota dari daerah pemilihan Bali yang disebut dalam sebuah podcast—katanya ia bingung. Duit suap telah datang, konon diam-diam duit itu masuk ke kamar. Masuk ke kamarnya, tak disebutkan masuk ke kantongnya.

Entah ketakutan, entah kebingungan, tapi yang pasti, tak ada, atau belum ada kabar duit itu dikembalikan. Maka dugaan menguat: kalau tidak dikembalikan, berarti diembat juga.

Mereka, yang mengaku para senator (padahal tak ada senat di negeri ini) menyandang predikat “Yang Terhormat.” Namun, bagaimana bisa seorang yang disebut terhormat jika sangat tidak terhormat dalam satu tarikan napas?

Mereka berkoar soal integritas, menyebut diri sebagai benteng moral daerahnya. Tapi ketika tumpukan dolar dikonversi menjadi rupiah senilai 204 juta, kehormatan itu pun goyah, nyaris runtuh.

Di Bali, ada diantaranya mulai berperilaku aneh-aneh. Ada yang dengan bangga berfoto di lokasi yang diduga melanggar aturan sepadan sungai, tampak juga ia berbangga berfose dengan pengusaha yang notabene simbol kapitalis, bahkam tampak seperti ingin menjadi juru bicaranya, padahal pada saat yang sama rakyat justru berteriak di jalanan, demo melawan kapitalisme.

Ada pula yang marah-marah di sekolah, marah-marah di kampus—seakan lupa bahwa sejatinya dia bukanlah pemimpin rakyat, melainkan wakil rakyat. Wakil itu mewakili, menyerap aspirasi lalu memperjuangkannya, bukan menggurui, apalagi memerintahkan dengan rekomendasi-rekomendasi.

Ironi makin menyakitkan ketika DPD, yang selama ini dielu-elukan sebagai perwakilan daerah yang lebih “bersih” dari permainan politik partai, justru jatuh ke dalam pusaran yang sama: uang, kepentingan, dan pengkhianatan. Mengkhiati hati nurani rakyat.

Mantan staf ahli senator Sulawesi Tengah, M. Fithrat Irfan, mengungkap bahwa setiap anggota DPD (95 orang) diduga menerima antara 5.000 hingga 8.000 dolar AS.

Jika benar, ini bukan sekadar pelanggaran, melainkan persekongkolan besar-besaran. Itu suap. Itu korupsi. Itu duit yang tak diperbolehkan untuk diambil oleh siapa saja, kecuali para durjana.

Ini bukan sekadar skandal. Ini tamparan keras bagi mereka yang masih percaya bahwa kehormatan jabatan adalah segalanya. Jabatan adalah amanah, bukan tempat mengeruk keuntungan.

Sekali lagi jika dugaan ini benar, maka satu hal yang jelas: gelar “Yang Terhormat” hanyalah tempelan belaka. Sebab, di dunia paradoks ini, kehormatan bisa dibeli, dijual, dan dikorbankan demi segepok dolar yang membutakan hati. (*)

Denpasar, 10 Februari 2025