E. Nong Yonson
JINGGA perlahan-lahan menjemput purnama. Jejak bekas telapak kaki renta itu, terlihat jelas di setapak. Jejak itu seperti menggambarkan lelah, kecewa, dan bimbang. Ia berhenti di persimpangan. Mungkin bingung memilih arah.
“Mau ke mana?” Tanya seorang gadis muda padanya. Ia menatap gadis itu dan berkata pelan, “mau pulang, Nak”. Pulang? Jalannya bukan itu Opa. Lanjut gadis muda itu. Ia hanya tersenyum dan tak meresponnya lagi.
Rumah mewah yang ia bangun, sudah tidak lagi menjadi alasan untuk pulang. Sebab pulang selalu digerakan oleh rindu dan didorong oleh rasa nyaman. Dua rasa itu telah tiada. Semenjak pagar rumahnya direnovasi semakin tinggi.
Namanya Dalit. Istrinya sudah meninggal. Ia hidup bersama kedua anak tirinya. Dalit adalah kasta paling rendah di India. Nama itu diberikan orang asing saat ibunya melahirkannya tanpa suami sah.
Sejak kecil, ia sudah terbiasa tanpa sosok ayah. Pernah suatu malam, ia bertanya pada ibunya tentang ayah. Namun, ibunya mengalihkan pertanyaan itu pada jawaban berupa kegelapan malam dihiasi suara burung-burung hantu. Sehingga tentang ayah, ia membayangkan malam dengan segala teka-teki dan misterinya. Ayahnya adalah teka-teki dan misteri.
Dalit yang sudah renta menginginkan rumah sebagai tempat tinggal. Tempat di mana semua tawa adalah bahagia dan semua pelukan adalah cinta. Sebab, tawa kedua anak tirinya adalah ejekan dan pelukan mereka adalah luka.
Memar pada jiwanya, lara pada kalbunya menggiringnya untuk mencari jalan menuju rumah. Ia pernah berhenti lama di pekuburan umum yang kumuh. Sempat berpikir memilih kubur sebagai rumah. Namun, ia membendung keinginan itu. “Masa, tentang pulang saja aku harus mati?” Ia berbisik pada dirinya sendiri.
Sampai purnama berganti suara ayam berkokok sahut-menyahut, ia tetap duduk menyendiri di persimpangan itu. “Selamat pagi Opa”. Ucap beberapa anak laki-laki yang sedang lari pagi. Ia membalas dengan senyuman yang ramah.
Hangat mentari pagi, percikan cahaya dari sela-sela dedaunan seperti memberinya arah. Pelangi pada kedua matanya, ia hapus dengan jari telunjuknya yang keriput. Sedangkan rambut putih acak-acak, ia biarkan.
Ia menghela napas, melihat ke langit, lalu melangkah pelan menuju ke timur. Sebab timur adalah simbol kepastian. Sampai kapan pun mentari tetap terbit dari ufuk timur. Setelah beberapa kilometer, ia menemukan jalan setapak kecil yang basah.
Ia melangkah berhati-hati. Tetapi kedua kaki rentanya sudah tak mampu memikul berat isi kepala dan beban kalbunya. Ia tergelincir. Jatuh. Kaki kanannya terjepit di antara kedua batu tajam. Sementara, tangan kirinya terikat tali bekas jebakan pemburu.
Ia berteriak berulang-ulang, “tolong, tolong, tolong.” Tidak ada satu orang pun yang datang membantunya. Mungkin masih terlalu pagi untuk mendengar jeritan orang tua itu. Ia terperangkap tepat di depan mata air.
Beberapa burung saling bergantian meminum segar air itu. Sementara itu, Dalit hanya menggerakan tangan kanannya yang lelah. Memilih jambu air sisa makanan burung. Lalu, memakannya. Beberapa sudah membusuk, berulat. Namun, ia tidak memiliki pilihan lain selain menikmatinya.
Sampai terik berganti jingga dan jingga berganti malam yang sunyi. Ia tetap terjebak sendirian. Penderitaan malam itu jauh lebih sempurna dari sebelumnya. “Apakah ini adalah jalan pulangku?” Mengapa caranya seindah ini?” Ia berbincang pada dirinya sendiri.
Pancaran cahaya bintang tepat di sumber mata air. Ia menyaksikan gemericik jernih dari tanah mengalir lagi ke tanah. Ia mengangguk-angguk. Menggeleng-geleng. Memang benar, air tidak pernah meminum dirinya sendiri.
Dalam kondisi yang sungguh-sungguh menyiksa. Tanpa makan, tak ada minuman, ia justru merasa sangat tenang. Beberapa tanda alam seperti sedang mengajaknya untuk berkontemplasi. Ia menemukan rahasia. Bahwa setiap orang bisa hidup dengan tanpa makan dan minum tetapi tidak mampu hidup jika tidak ada harapan.
Sebab, makanan hanya mampu menggerakan raga sedangkan harapan dapat mengarahkan tujuan sebuah perjalanan. Ia menggerakan tangan kanannnya sekuat tenaga. Karena tali jebakan itu licin, tanggannya terlepas.
Dengan sisa tenaga dari kedua tanggannya, ia berusaha keras menggeser batu tajam itu. Setelah kali ke empat, ia mampu mengangkat kakinya. Luka pada kakinya sudah bernanah. Lalat-lalat berkerumunan. Ia membiarkannya.
Ia bangkit berdiri. Lalu, kembali ke jalan utama. Hari sudah sangat sore. Daerah itu adalah dareah dengan kabut yang tebal.
Ia melangkah perlahan-lahan pada jalur kiri jalan utama. Sebuah mobil mewah dengan kecepatan tinggi menabrakannya. Ia terpental jauh. Sementara pengemudi dan penumpang tak menyadari itu. Kepalanya membentur batu. Darah mengalir dari hidung, telinga, dan mata. Dalit telah benar-benar pulang.
Beberap hari kemudian, pihak kepolisian menemukan jasadnya. Mengabarkan pada kedua anak tirinya. Keduanya datang, menjemput raganya yang mati. Mereka mencari tahu infomasi lengkapnya. Opa Dalit ditabrak lari. Kata salah satu polisi. “Kapan? Di mana?” tanya kedua anak itu. Di dekat mata air dua hari lalu, sore hari.
Mereka kaget. Karena dua hari lalu, sore hari, saat kabut tebal mereka lewat jalan tu dengan kecepatan tinggi. Namun, mereka mendiamkan itu. mereka menerima jasad Dalit dan menguburkan seperti biasa. Tidak ada acara yang istimewa. Gadis muda dan beberapa anak laki-laki juga hadir dalam pemakanan biasa-biasa itu. Dalit sudah pulang ke rumah.
Bionarasi Penulis
Nama E. Nong Yonson, sekarang berdomisili di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Beberapa karyanya berupa buku: Terampil Membaca dan Mencipta Puisi (2022) Buku pembelajaran sastra; Antologi Puisi Dosa Sang Penyair (2020)
Bukankah Kita Pernah Serasa (2022), Antologi Cerpen Tanpa Kalimat Pertama (2021), Buku Cerita Anak Dwi Bahasa yang diterbitkan oleh Kemendikbudristek, serta beberapa antologi bersama. Ia juga aktif di beberepa komunitas penyair Nasional seperti TISI dan SATUPENA. Ia dapat dihubungi melalui WA: 085238052066, FB: E. Nong Yonson, TikTok: @nong.