Ilustrasi : Wak Rojam
Penulis : Rosadi Jamani *)
HATIPENA.COM – Ini hanya fiktif. Bila ada kesamaan dengan kejadian nyata hanya kebetulan saja. Siapkan kopi dan tisu lee.
Langit Seoul malam itu terasa berat. Seolah menahan tangis yang sama seperti yang Noh Ran rasakan. Gadis itu berdiri di tengah lapangan voli yang sepi, medali MVP tergenggam erat di tangannya. Tapi, alih-alih bahagia, dadanya terasa hampa. Medali itu terasa dingin, seperti mengingatkannya pada semua perjuangan yang hampir membuatnya menyerah.
Noh Ran, libero Red Sparks, baru saja meraih gelar Most Valuable Player. Tapi, di balik sorak-sorai kemenangan, ada luka yang tak terlihat. Tingginya hanya 167 cm, jauh dari ideal untuk pemain voli. Libero bukanlah posisi yang glamor. Ia tak pernah menjadi pencetak poin, tak pernah menjadi bintang yang diwawancarai usai laga. Ia hanya penjaga pertahanan.Posisi yang sering kali dilupakan. Tapi, ia tak menyerah. Ia berlatih hingga tangan dan kakinya lecet, hingga tubuhnya hampir tak sanggup lagi berdiri.
“Kenapa aku masih merasa kosong?” bisiknya, air matanya jatuh satu per satu. Ia teringat pada semua malam ia berlatih sendirian, saat semua orang sudah pulang. Ia teringat pada ejekan yang ia terima karena tubuhnya yang kecil. Ia teringat pada keraguan yang terus menghantuinya, “Apakah aku cukup baik?”
Tapi, ada satu orang yang selalu ada untuknya, Megawati, atau Mega, sahabatnya dari Indonesia. Mega adalah penyemangatnya. Orang yang selalu mengingatkannya bahwa kerja keras tak akan mengkhianati hasil. “Libero juga bisa jadi pahlawan,” kata Mega suatu hari, matanya berbinar penuh keyakinan. Kata-kata itu yang membuat Noh Ran terus bertahan.
Malam itu, saat Red Sparks melawan IBK Altos, Noh Ran bermain dengan sepenuh jiwa. Setiap serangan lawan ia halau, setiap bola yang nyaris jatuh ia selamatkan. Timnya menang 3-0, dan Noh Ran dinobatkan sebagai MVP. Saat namanya disebut, ia tertegun. Matanya berkaca-kaca, tangannya gemetar sambil menutup mulut. Ia hampir tak percaya. Ia berusaha tak menangis saat diwawancarai, walau suaranya tercekat. “Ini untuk semua yang percaya padaku,” bisiknya.
Usai wawancara, kawan-kawannya menyiramnya dengan air mineral, tertawa riang. Tapi, saat Mega mendekat, Noh Ran tak bisa menahan tangis lagi. Mega memeluknya erat, dan Noh Ran pun menangis tersedu-sedu. “Kamu berhasil, sobat,” bisik Mega, suaranya parau. “Kamu pantas mendapatkan ini.”
Di pelukan Mega, Noh Ran merasa semua perjuangannya terbayar. Ia teringat pada semua air mata yang ia teteskan, pada semua luka yang ia rasakan. Kini, air matanya yang jatuh adalah air mata kebahagiaan. Ia tahu, ini bukan akhir. Ini adalah awal dari perjalanan barunya.
Tapi, di tengah kebahagiaan itu, ada satu hal yang ia sadari, tanpa Mega, ia tak akan sampai di sini. Dalam pelukan sahabatnya itu, Noh Ran berjanji pada dirinya sendiri. Ia akan terus berjuang, untuk Mega, untuk timnya, dan untuk mimpinya.
Malam itu, air mata Noh Ran bukan lagi air mata kesedihan. Itu adalah air mata kemenangan, air mata yang menandai perjuangan seorang libero yang tak pernah menyerah.(*)
*) Ketua Satupena Kalbar