Ilustrasi: AI/ Mila Muzakkar
Penulis: Mila Muzakkar
HATIPENA.COM – Puisi Esai ini terinspirasi dari perempuan yang mengalami trauma dan membenci tubuhnya karena dipaksa berjilbab oleh orangtuanya – (1)
-0-
Usiaku baru delapan,
Subuh itu, ketika tubuhku masih menari-nari di pulau kapuk,
Bapak menghujaniku seember air.
“Bangun, shalat subuh,” teriaknya.
Kasurku menjadi lautan air,
bantal-bantalnya menjadi perahu yang menggenang.
Tubuhku menggigil, lidahku beku.
Seperti matahari yang selalu terbit di Timur,
membangunkanku dengan seember air adalah rutinitas yang harus kuhadapi.
Pagi kujemput dengan kasur dan bantal-bantal basah,
lalu mengeringkannya di kebun belakang rumah.
Tubuh mungilku baru saja bangkit dari sajadah,
nafasku belum juga teratur,
Kini, seruan Ibu menderu di telinga, “Lanjutkan hafalan Qur’anmu sekarang!”
Aku pun tenggelam dalam ayat-ayat Al qur’an.
Alunan ayat-ayat Tuhan begitu indah, menyentuh hati, meggetarkan tubuh.
Tak seindah seruan orangtuaku yang keras, seperti peluru yang manancap di hati.
-0-
Usiaku kini tiga belas tahun.
Buku lembaran baru hidupku dimulai, setiap halamannya mengandung teka-teki yang harus dipecahkan.
Seperti sungai yang mengalir, arus kehidupan semakin deras aku lalui.
Aku satu-satunya anak perempuan,
keluargaku menggantungkan harapan besar,
harapan tentang putrinya yang harus terjaga di sangkar emas,
tanpa noda, tanpa dosa.
Hari ini, penampilanku berbeda.
Di depan cermin, aku melihat diri yang tak kukenali.
Rambut panjangku yang indah kini tak tampak lagi,
Ia t’lah bersembunyi di balik jilbab putih.
“Anak perempuan harus tutup aurat, supaya tidak digangguin di luar sana,” ucap Ibu.
Hatiku mengingkari, “Bu, Pak, kenapa harus pake jilbab sih? Aku lebih nyaman pakai baju biasa.
Asap rokoknya menari di udara,
kopi hitam ia seruput,
dengan telunjuknya, Bapak mengancam, “Kalau kamu ndak pake jilbab, berarti kamu mau orangtuamu masuk neraka.”
Hatiku makin bergejolak,
ketakutan menyerangku.
Di kepalaku, terlintas bara api neraka.
Sejak kecil, aku dilatih untuk patuh pada orangtua,
titah orangtua adalah takdir yang harus diterima.
Lamunanku terbang jauh,
membayangkan sosok Kartini yang tak mudah diombang-ambing.
Pada ayahnya, dengan tegas ia sampaikan, “Untuk apa saya membaca ayat-ayat ini, kalau saya tidak diajarkan artinya?”
Kartini seolah berbisik, menantangku, “Bisakah kamu menjadi aku, yang berani menyuarakan kata hatimu?”
-0-
Pagi itu, langit di sekolah cerah, “Nah, gitu dong, lebih cantik, lebih suci,” mereka memujiku.
Tapi hatiku mendung,
ada luka yang tak terlihat.
Mereka mengukur kesucian dari lembaran kain yang kukenakan,
mengukur kecantikan dari penutup tubuhku.
“Seperti itukah ajaran agama yang aku anut?” aku meragu.
Kutinggalkan sekolah dengan luka yang mengendap.
Kususuri lorong-lorong sempit yang sepi.
Di ujung jalan, sekelompok laki-laki asyik bercengkarama, “Assalamu alaikum, cantik. Pulang sekolah ya?” seseorang menyapa dengan nada merendahkan.
Yang lain tak mau kalah, “Dianterin yuk sama Abang,” ucapnya setengah mengejek.
Tawa mereka lepas di udara,
seperti buaya yang baru saja mencium mangsa.
Kata-kata Ibu sekelibat terlintas. “Anak perempuan harus tutup aurat, supaya tidak digangguin di luar sana.”
Tapi apa yang terjadi?
Aku tertutup, tapi mereka tetap memangsaku.
Ah, sudahlah.
Langkahku terhenti, “Pede banget Lo semua. Siapa yang mau dianterin laki-laki yang nggak pake otak kayak kalian?” kali ini aku memberanikan diri. Aku t’lah menjadi Kartini masa kini.
Kupercepat langkahku,
kulepas jilbabku.
Aku ingin bebas seperti burung yang terbang kesana-kemari,
seperti laut yang menentukan gelombangnya sendiri.
Aku ingin berjilbab bukan karena paksaan,
bukan karena ancaman surga-neraka,
tapi karena panggilan dari Tuhanku.
Dalam hati aku berdoa, “Tuhan bukalah mata hati orangtuaku. Agar mereka mengerti, agama tak bisa dipaksakan, iman tak lahir dari ketakutan.(*)
Depok, 13 Februari 2025
Catatan
(1) https://www.konde.co/2023/01/membenci-tubuh-dan-menggunduli-rambut-orangtua-memaksaku-pakai-jilbab/