Ilustrasi : Meta AI/ Rizal Pandiya
Puisi Esai Mulyadi J. Amalik
HATIPENA.COM – Pendahuluan
Usai sholat Jum’at mengadukan nasib pada Tuhan di masjid DPRD DIY Malioboro, lalu bergeser mengadukan nasib pada Wakil Rakyat yang bukan wakil Tuhan.
Mana yang lebih duluan mengabulkan permohonanku?
Bab I
Bertahun-tahun kuliah di Jogja, tak tahu kalau ada Jalan Malioboro tempat wisatawan belanja kesenangan. Setelah berhenti kuliah, sekali waktu sempat jalan-jalan di Malioboro, tetapi tidak belanja. Motifnya cuma bergaya, pura-pura menjadi turis kaya.
Bab II
Selama mukim di Jogja, makanan pokok cuma sego pecel tahu tempe. Jarang makan lauk daging atau telur ayam dan minum susu. Apalagi, tak sanggup makan bakpia atau salak pondoh. Menghemat uang saku untuk membeli buku dan membayar kos alasan utamanya. Selebihnya, sibuk kuliah sebab diancam tak dikirimi logistik oleh orang tua karena kuliah itu pengangguran terselubung.
Bab III
Di Jogja banyak peluang mencari calon bini gadis asli. Modal omong besar dan teori-teori dari buku paket sekolah, ditambah pula gaya parlente dengan mobil rental dan pakaian pinjam dari salon. Seolah tipu sana-sini itu sukses. Padahal, setelah itu hidup nomaden menghindari kejaran tagihan utang.
Bab IV
Pulang kampung membawa pakaian wisuda lengkap untuk pameran dan berfoto-foto bersama orang dusun. Lepas itu, datang bertubi-tubi surat peringatan dari kampus. Kuliah diancam drop out, uang kuliah pun menunggak menggunung minta ampun.
Penutup
Jauh-jauh merantau mengadu nasib. Meratap ke penguasa kampus malah putus kuliah. Mengadu ke Tuhan, banyak syarat dan ketentuan. Memohon ke anggota dewan Wakil Rakyat, cuma ditampung sebagai daftar isian masalah semacam rapat dengar pendapat umum. Nasib, nasib!(*)
Sosrowijayan, Yogyakarta: 13/12/2024.