Ilustrasi : AI/ ReO
Penulis : ReO Fiksiwan *)
“Di mana pun moralitas didasarkan pada teologi, di mana pun kebenaran dibuat bergantung pada otoritas ilahi, hal-hal yang paling tidak bermoral, tidak adil, dan tercela pun dapat dibenarkan dan ditetapkan.“ — Ludwig Feuerbach, Das Wesen des Christentum(1841).
HATIPENA.COM- Kapan ateisme merajalela di Jerman? Konon, di masa ketika agama Kristen hampir diterima secara universal, Jerman merupakan pusat intelektual bagi pemikiran bebas dan humanis Eropa, yang ide-idenya menyebar ke seluruh Eropa dan dunia pada Zaman Pencerahan(Aufklärung).
Kemudian, tradisi keagamaan di Jerman dilemahkan oleh serangan ganda pemerintahan Nazi selama Perang Dunia II dan serangan Partai Persatuan Sosialis di Jerman Timur selama Perang Dingin. Seperti halnya sebagian besar masyarakat Eropa lainnya, periode sekularisasi juga berlanjut pada dekade-dekade berikutnya. Meskipun saat ini agama Kristen masih merajalela di Jerman bagian barat, di bagian timur relatif sedikit orang Jerman yang mengidentifikasi diri dengan agama apa pun.
Jerman memiliki jumlah penganut ateisme yang signifikan. Pada tahun 2023, sekitar 46 persen penduduk Jerman mengidentifikasi diri sebagai penganut agama yang tidak beragama, dengan konsentrasi yang lebih tinggi di bekas Jerman Timur. Faktanya, Jerman Timur dianggap sebagai salah satu wilayah yang paling tidak religius di dunia.
Untuk merincinya lebih lanjut, perkiraan tahun 2023 menunjukkan bahwa 46,2 persen penduduk Jerman tidak beragama dan bukan anggota kelompok agama apa pun. Selain itu, sebuah penelitian menemukan bahwa 41 persen penduduk Norwegia, 48 persen penduduk Prancis, dan 54 persen penduduk Ceko mengaku tidak percaya pada dewa, tetapi hanya sebagian dari responden tersebut yang mengidentifikasi diri sebagai “ateis”.
Perlu dicatat bahwa demografi ateisme sulit diukur karena berbagai faktor, termasuk stigma yang terkait dengan ateisme di beberapa negara dan kompleksitas pengukuran keyakinan agama.
Pada tahun 2023, sekitar 46 persen penduduk Jerman tidak beragama dan dengan konsentrasi warga yang tidak beragama jauh lebih tinggi di bekas Jerman Timur. Di bekas Jerman Timur yang berada di bawah kekuasaan komunis ketika itu, lebih ini merupakan wilayah yang paling tidak beragama di dunia.
Akar Zindiktum — istilah yang digunakan Ignaz Goldziher(1850-1921), orientalis asal Jerman — berasal dari salah satu filsuf Jerman yang ateis(Arab-Jerman: Zindiktum) adalah Ludwig Feuerbach dengan mengembangkan teori materialisme antropologis dalam bukunya, Das Wesen des Christentum(1841).
Karya Feuerbach memengaruhi Karl Marx dan Friedrich Engels dalam tulisan-tulisan mereka yang menentang agama. Gerakan freethinker memperoleh dukungan di Jerman selama abad ke-19. Pada 1850, perayaan ritual pendewasaan sekuler(Jugendweihe) dikembangkan dan Ludwig Büchner mendirikan “Liga Pemikir Bebas Jerman“ pada tahun 1881 sebagai cikal bakal ateisme mutakhir.
Setelah penyatuannya pada tahun 1871, Kekaisaran Jerman berusaha melawan upaya Gereja Katolik untuk memaksakan otoritasnya atas kedaulatan kekaisaran. Selama Kulturkampf, Jerman mengeluarkan beberapa undang-undang yang membatasi kekuasaan otoritas keagamaan atas negara.
Republik Weimar menjamin kebebasan beragama ketika konstitusinya mulai berlaku pada tahun 1919.
Setelah Partai Nazi menguasai negara tersebut pada tahun 1933, perlindungan konstitusional diabaikan di Jerman Nazi. Setelah Perang Dunia II, Jerman terbagi menjadi Jerman Barat dan Jerman Timur.
Sementara Jerman Barat memberlakukan perlindungan agama, Jerman Timur memberlakukan sistem ateisme negara dan menganiaya kelompok Kristen selama beberapa tahun pertama keberadaannya, yang mengakibatkan Jerman Timur memiliki tingkat ketidakberagamaan yang jauh lebih tinggi daripada Jerman Barat saat itu. Kesenjangan ini berlanjut setelah penyatuan kembali Jerman dan masih ada hingga saat ini.
Melalui istilah teologi Islam, kata „Zindiq” (زنديق) merujuk kepada seseorang yang secara lahiriah mengaku Islam tetapi secara diam-diam memegang kepercayaan ateis atau sesat. Istilah “Zindiq” berasal dari kata Persia “zandik,” yang berarti “sesat” atau “ateis.”
Sementara kata ini, pertama dipakai dalam asli Goldziher tentang Zindiqisme(Zindiktum), terutama dalam bukunya “Muhammedanische Studien” (Studi Muslim), yang diterbitkan pada tahun 1889-1890.
Dalam teologi Islam, karakter seorang Zindiktum dicirikan oleh:
Kesesuaian lahiriah yang disebabkan Zindiktum tampak sebagai seorang Muslim yang taat, melakukan ritual dan mematuhi adat-istiadat Islam.
Kemudian menyamarkan imannya, meski secara lahiriah tampak serupa.
Zindiktum secara diam-diam tampak beriman, namun menganut kepercayaan ateis atau sesat dan menolak prinsip-prinsip dasar Islam. Selain itu, zindiktum dianggap penipu dan munafik, karena mereka menyamarkan keyakinan dan niat mereka yang sebenarnya.
Dalam konteks sejarah, konsep Zindiktum muncul selama Kekhalifahan Abbasiyah (abad ke-8-13 M), ketika teologi dan filsafat Islam sangat dipengaruhi oleh pemikiran Yunani dan Persia. Para Zindiktum sering dikaitkan dengan mazhab teologi Mu’tazilah, yang menekankan akal budi dan penyelidikan intelektual.
Dalam hukum Islam, hukuman bagi Zindiktum sangat berat, karena mereka dianggap murtad. Al-Quran dan Hadits (tradisi kenabian) menetapkan hukuman berat, termasuk hukuman mati, bagi mereka yang menolak Islam setelah menerimanya.
Pada zaman modern ini. istilah Zindīq masih digunakan dalam beberapa konteks Islam untuk menggambarkan individu yang diam-diam menganut kepercayaan ateis atau sesat. Namun, konsep tersebut tidak dibahas atau ditekankan secara luas seperti di masa lalu.
Singkatnya, Zindiktum dalam teologi Islam merujuk pada seseorang yang secara lahiriah mengaku Islam tetapi diam-diam memegang keyakinan ateis atau sesat, dan dianggap sebagai pelanggaran serius yang dapat dihukum oleh hukum Islam.
Untuk menyangkut sejarah Zindiktum, Abdul Rahman Badawi(1917-2002), filsuf Islam asal Mesir, telah menuliskan ihwal akar-akar Zindiktum dalam Islam melalui „Sejarah Ateis Islam: Penyelewengan,
Penyimpangan, Kemapanan“(Min Tarikh al-Ilhad fi al-Islam, terjemahan LKIS, 2003). Pada bab dua, Badawi membahas istilah ini dan menyertakan ulasan F. Gabrieli ihwal Zindiktum Al-Muffaqa.
Sekilas, Abū Muhammad ʿAbd Allāh Rūzbih ibn Dādūya, lahir di Rōzbih pūr-i Persia(Iran) lebih dikenal sebagai Ibn al-Muqaffaʿ dan wafat sekitar tahun 756/759). Ia berkarir di era Abbasiyah sebagai seorang penerjemah, filsuf dan penulis yang menulis dalam bahasa Arab. Ia memakai nama Rōzbeh/Rūzbeh sebelum ia pindah agama dari Manikheisme ke Islam.(*)
*) Artikel ini diolah dari buku rujukan dan gambar Gen Z di Jerman sedang menyimak bacaan Quran dengan bantuan Meta AI.