Ilustrasi : Meta AI/ ReO Fiksiwan
Penulis : ReO Fiksiwan
HATIPENA.COM – “Dunia sastra bisa mengisi, apa-apa yang tak bisa diuraikan sains canggih sekalipun.“ — Y.B. Mangunwijaya(1922-1999), Sastra dan Religiositas(1982).
Peraih Nobel Sastra 1982, Gabriel Garcia Marquez(1927-2014) kelahiran Kolumbia, populer dengan karyanya, One Hundred of Solitude(1967), sejak terbit terjual mencapai 30 juta eksemplar. Dan karya ini dianggap melahirkan satu genre baru dalam sastra yang disebut sebagai aliran „magic realism.“
Untuk mengisi akhir pekan jelang tahun baru 2025, bioskop dari Netflix menayangkan serial novel ini sejak 11 Desember 2024 dan disutradarai Alex García López dan Laura Mora serta sejumlah bintang Claudio Cataño Diego Vásquez, Marleyda Soto. Viña Machado, Loren Sofía, Janer Villarreal, Akima, Moreno Borja dan Ruggero Pasquarelli.
Genre sastra realisme magis (magic realism) menjadi salah satu gerakan sastra paling unik di abad lalu. Meskipun paling sering dikaitkan dengan penulis Amerika Latin, penulis dari seluruh dunia telah memberikan kontribusi besar pada genre ini. Hingga Netflix merasa perlu menayang serial yang asyik dan apik dalam delapan episode(https://youtu.be/LtSZNLvupsc?si=R_okSNVQWKN_8Mzk).
Realisme magis adalah genre sastra yang menggambarkan dunia nyata sebagai dunia yang memiliki unsur magis atau fantasi. Realisme magis merupakan bagian dari genre fiksi realisme.
Dalam karya realisme magis, dunia masih didasarkan pada dunia nyata, tetapi unsur-unsur fantastik dianggap normal di dunia ini. Seperti dongeng, novel dan cerita pendek realisme magis mengaburkan batas antara fantasi dan kenyataan.
Istilah “magischer realismus,” yang diterjemahkan menjadi “realisme magis,” pertama kali digunakan pada tahun 1925 oleh kritikus seni Jerman Franz Roh dalam bukunya „Nach Expressionismus: Magischer Realismus“(Paskah Ekspresionisme: Realisme Magis).
Ia menggunakan istilah tersebut untuk menggambarkan “Neue Sachlichkeit,” (Objektivitas Baru) sebagai sebuah gaya melukis yang populer di Jerman pada saat itu dan merupakan alternatif dari romantisme ekspresionisme.
Roh menggunakan istilah “magischer realismus” untuk menekankan betapa magis, fantastis, dan anehnya objek normal dapat muncul di dunia nyata saat kita berhenti dan melihatnya. Membaca gaya realisme magis mengantar tiap-tiap tahap suasana pada arus sejarah dan waktu yang pekat. Namun, digaransi akan menghanyutkan fantasi kita di atas realitas.
Genre ini semakin populer di Amerika Selatan saat Nach Expressionismus: Magischer Realismus, angkatan sastra di Jerman, diterjemahkan ke dalam bahasa Spanyol pada tahun 1927.
Selama tinggal di Paris, penulis Kuba keturunan Prancis-Rusia Alejo Carpentier dipengaruhi oleh realisme magis. Ia lebih jauh mengembangkan konsep Franz Roh menjadi apa yang disebutnya “realisme yang mengagumkan,” sebuah perbedaan yang menurutnya berlaku untuk Amerika Latin secara keseluruhan.
Pada tahun 1955, kritikus sastra Angel Flores menciptakan istilah “realisme magis” (sebagai lawan dari “realisme magis”) dalam bahasa Inggris dalam sebuah esai, yang menyatakan bahwa istilah tersebut menggabungkan unsur-unsur realisme magis dan realisme yang mengagumkan.
Ia menyebut penulis Argentina Jorge Luis Borges sebagai realis magis pertama, berdasarkan kumpulan cerita pendeknya yang diterbitkan sebelumnya „Historia Universal de la Infamia“(Sejarah Universal tentang Kekejian) atau „Labirin“(1962).
Sementara penulis Amerika Latin menjadikan realisme magis seperti sekarang ini, penulis sebelumnya telah menulis cerita tentang situasi biasa dengan unsur-unsur fantastis sebelum realisme magis menjadi genre sastra yang diakui.
Misalnya, The Metamorphosis karya Franz Kafka—sebuah novel dengan tema yang oleh para kritikus saat ini dianggap sebagai realisme magis—diterbitkan pada tahun 1915, satu dekade sebelum spirit menulis tentang realisme magis dan jauh sebelum genre tersebut muncul dalam sastra Amerika Latin.
Akan tetapi, dalam sejarah khazanah sejarah sastra Jerman,realisme magis dikenal pula dengan sebutan post-realisme(Nachrealismus) berkembang pada tahun 1960-an dan 1970-an.
Beberapa penulis penting realisme magis dalam sastra Jerman, di antaranya, Gunter Grass (1927-2015), meraih nobel 1999 (https://www.nobelprize.org/prizes/literature/1999/grass/lecture/); salah satu karyanya, Die Blechtrommel (1959), dialihwahana ke film oleh sutradara merangkap penulis skenario, Volker Schlöndorff, masuk dalam kategori komedi gelap surealistik. Film tersebut memenangkan Palme d’Or di Festival Film Cannes 1979 dan Academy Award untuk Film Berbahasa Asing Terbaik pada 1980 di Academy Awards ke-52
Demikian pula, Heinrich Böll (1917-1985). Dianggap sebagai salah satu penulis Jerman terkemuka pasca-Perang Dunia II dan untuk itu ia menerima Penghargaan Georg Büchner (1967) dan Nobel Sastra (1972). Di antara karyanya, Wanderer, Kommst Du Nach Spa..(1950), Die Ehe von Katharine Blum (1974). Kelak, setahun kemudian,1975, difilmkan oleh sutradara Volker Schlöndorff dan Margarethe von Trotta serta Anschicten eines Clowns (1966).
Selanjutnya, karya Siegfried Lenz (1926-2014), Deutschstunde (1968); Martin Walser (1927-2023), Ehen in Phillippsburg (1957) serta Uwe Johnson(1934-1984), Mutmassungen über Jacob (1959). Untuk itu, realisme magis dalam sastra Jerman merupakan reaksi terhadap perubahan sosial dan politik pada periode pasca perang dan mencari bentuk dan gaya baru untuk mewakili kompleksitas dunia modern.
Beberapa ciri penting realisme magis dalam sastra Jerman meliputi campuran realitas dan fantasi, memanfaatkan simbol dan metafora dengan penekanab pada pengalaman subjektif dan dunia batin karakter sebagai bentuk kritik terhadap realitas sosial dan politik pasca perang.
Untuk memperkaya khazanah sastra dunia —sebelum alih wahana ke film — dapat bacalah kisah-kisah realisme magis berikut dengan harapan memperoleh inspirasi sembari memupuk bakat menulis novel atau sebuah cerita. Semua itu, tentu bisa mengaburkan batas antara fantasi dan kenyataan yang menggiring unsur-unsur magis yang tak ditemukan di dunia nyata. Berikut karya-karya sastra dunia realisme magis:
- One Hundred Years of Solitude karya Gabriel García Márquez (1967). Sebuah kisah multigenerasi tentang seorang kepala keluarga yang bermimpi tentang sebuah kota cermin bernama Macondo lalu menciptakannya menurut persepsinya sendiri.
- Midnight’s Children karya Salman Rushdie (1981). Sebuah novel tentang seorang anak laki-laki dengan kekuatan telepati karena ia lahir pada tengah malam di hari yang sama saat India menjadi negara merdeka.
- The House of the Spirits karya Isabel Allende (1982). Sebuah kisah multigenerasi tentang seorang wanita dengan kekuatan paranormal dan hubungan dengan dunia roh.
- Beloved karya Toni Morrison (1987). Sebuah novel tentang seorang mantan budak yang dihantui oleh hantu yang kasar. Tom meraih nobel sastra 1993.
- Like Water for Chocolate karya Laura Esquivel (1989). Novel tentang seorang wanita yang emosinya meresap ke dalam masakannya, yang menyebabkan efek yang tidak diinginkan pada orang-orang yang diberi makan.
- The Wind-Up Bird Chronicle karya Haruki Murakami (1994). Novel tentang seorang pria yang mencari kucingnya yang hilang, dan akhirnya istrinya yang hilang, di dunia bawah jalan-jalan Tokyo.
- The Ocean at the End of the Lane karya Neil Gaiman (2013). Novel tentang seorang pria yang merenungkan masa lalunya setelah kembali ke kampung halamannya untuk menghadiri pemakaman.
Menekuni genre realisme magis sebagai latihan artistik atau mencoba menarik perhatian penerbit, sulit untuk mengetahui dari mana harus memulai. Penulis pemenang penghargaan dari seri The Sandman, Neil Gaiman(64) asal Inggris, telah menghabiskan waktu puluhan tahun untuk memimpikan dunia magis.
Dalam MasterClass-nya tentang seni bercerita, Neil membagikan semua yang telah dipelajarinya tentang cara menciptakan karakter yang meyakinkan dan dunia fiksi yang hidup(https://en.m.wikipedia.org/wiki/The_Sandman_(comic_book). (*)
*) Ditulis dengan lukisan bantuan AI