Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Menengok Jejak Sultan Abdurrahman

February 18, 2025 18:58
IMG_20250218_183753

Oleh Tadjul Arifien R

HATIPENA.COM – Sejarah pemerintahan di Sumenep mencerminkan dinamika politik yang terjadi di Madura sepanjang abad ke-13 hingga abad ke-20. Bermula dari pemerintahan raja, berlanjut ke kepemimpinan adipati, hingga akhirnya dikuasai oleh regent atau bupati di bawah kendali kolonial Belanda.

Salah satu sosok yang muncul dalam era ini adalah Sultan Abdurrahman, yang namanya diabadikan dalam sejarah Madura sebagai bagian dari struktur pemerintahan kolonial.

Dinamika Kekuasaan di Sumenep
Sejak tahun 1255, Sumenep dipimpin oleh raja, hingga berakhir pada masa Narayya Kulupkuda. Selanjutnya, dari tahun 1269 hingga 1672, kekuasaan berada di tangan para adipati, dimulai dari Arya Wiraraja hingga Pangeran Yudonegoro.

Namun, sejak tahun 1672 hingga 1928, jabatan tertinggi di Sumenep berubah menjadi regent atau bupati, yang berfungsi sebagai aparatur kolonial Belanda untuk mengelola pajak rakyat.

Belanda mewajibkan pajak pajak rakyat yang dibebankan pada Regent/Bupati Sumenep untuk diberikan kepada Belanda, termasuk pajak Contingent sebesar 24.320 gulden per tahun.

Selain itu, pajak bumi mencakup komoditas seperti kacang hijau, minyak kelapa, ikan bangbangan, dendeng sapi, benang kapas halus, dan gula siwalan. Sistem ini memperlihatkan bagaimana kolonialisme Belanda memanfaatkan struktur pemerintahan lokal untuk kepentingan mereka.

Sistem ini memperlihatkan bagaimana kolonialisme Belanda memanfaatkan struktur pemerintahan lokal untuk kepentingan mereka.

Jabatan Sultan sebagai Anugerah Kolonial
Dalam sistem kolonial, jabatan sultan di Madura bukanlah hasil dari legitimasi politik lokal atau tradisi kerajaan, melainkan sebuah anugerah dari pemerintah kolonial Belanda.

Para regent yang berjasa dalam membantu Belanda melawan penguasa pribumi akan diberikan gelar kehormatan yang berjenjang, dimulai dari Tumenggung, kemudian Pangeran, lalu Panembahan, hingga mencapai tingkatan tertinggi, yaitu Sultan.

Beberapa tokoh yang dianugerahi gelar sultan oleh Belanda di Madura antara lain:

Sultan Cakraadiningrat I (Bangkalan, 1780-1815)
Sultan Cakraadiningrat II (Bangkalan, 1815-1847)
Sultan Abdurrahman (Sumenep, 1811-1854)

Salah satu bukti sejarah penganugerahan ini adalah salinan surat dari Gubernur Jenderal Goterk Alexander Giyarrad Philip Baron van Capellen, tertanggal 2 Desember 1825 (21 Rabi’ul Awal 1271).

Surat tersebut menetapkan Panembahan Natakusuma II sebagai Sultan Pakunataningrat, yang kemudian dikenal sebagai Sultan Abdurrahman. Gelar ini diberikan atas jasanya dalam membantu Belanda menghadapi perlawanan Raja Bone di Sulawesi.

Sumenep dalam Bayang-bayang Kolonialisme
Sejak Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755, Madura secara resmi berada dalam kekuasaan Belanda. Dengan demikian, sistem kerajaan atau keadipatian di wilayah ini secara de facto telah lenyap, berganti menjadi struktur pemerintahan kolonial yang berbasis pada regent atau bupati.

Para pemimpin lokal yang sebelumnya memiliki kedaulatan penuh, kini hanya berfungsi sebagai pegawai kolonial yang bertugas mengelola sumber daya lokal untuk kepentingan penjajah.

Jejak Sultan Abdurrahman dalam sejarah Sumenep menjadi bukti bagaimana kolonialisme tidak hanya menaklukkan secara militer, tetapi juga membentuk ulang sistem pemerintahan dan memberikan legitimasi baru melalui gelar-gelar yang disesuaikan dengan kepentingan mereka.

Dalam konteks ini, peran para pemimpin lokal tidak dapat dilepaskan dari kompleksitas sejarah penjajahan dan adaptasi terhadap realitas politik yang terus berubah.(*)

Sumber Referensi:

  • Werdisastra (1914)
  • Kartosoedirdjo (1919)
  • Zainal Fatrah (1951)
  • Prof. Dr. Huub de Jonge (1898)
  • Prof. Min A. Rifa’i (2017)
  • (Sumber : Dimadura.id)