Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Relasi Tarung

February 19, 2025 09:46
IMG-20250219-WA0050

Ilustrasi : AI/ Hamdan eSA
Penulis : Hamdan eSA

HATIPENA.COM – Ketika kecil, selalu saja saya menyempatkan diri ke arena perjudian yang digelar setiap akhir pekan di tengah hutan tidak jauh dari rumah di kampung. Mainan utamanya adalah (maaf) sabung ayam. Itu sebabnya arena khusus sabung ayam dibuat serupa ring tinju seluas 4,5 meter persegi setinggi dada orang dewasa, dan di tempatkan tepat pada posisi centre area perjudian.

Pada lapisan kedua berjarak beberapa kaki dari ring sabung, puluhan permainan judi berjejer melingkari ring dimotori oleh bandarnya masing-masing. Dadu tutup, bola putar, joker, papan putar, ceme’, domino, dan lain-lain.

Lapisan ketiga orang berkelompok-kelompok duduk sambil membincang ayam, spiritual dan kosmologi ayam, taruhan, timing, shio, dan hal terkait. Jika cocok, mereka melakukan transaksi taruhan dan mendaftarkan pertarungannya ke petugas ring yang menangani jadwal tarung.

Pada lapis paling luar, berjejer tenda-tenda warung mengelilingi area judi.

Secara fisik dan materil memang tidak mungkin dapat dipadankan dengan arena judi dunia seperti di kota Macau atau Las Vegas. Tentu juga sensasinya sangat beda dengan arena judi online dunia maya. Tetapi paling tidak, spirit judinya sama berapi-api.

Mereka datang berjubel dari kota-kota sejumlah kabupaten dan juga beragam kelas dan etnis. Jika saja permainan ini dilegalkan, tentu para investor telah berlomba mengkapling bukit di sekitar arena dan segera saja bukit hutan itu menjadi kota kecil yang sexy.

Mendadak saja pikiran saya melesat ke kenangan indah masa kecil itu, ketika negara ini dihebohkan ulang oleh pertarungan dua lembaga tinggi negara, KPK versus Polri. Sejak ayam start bertarung, ratusan orang seru bersorak menyemangati ayam taruhannya, sambil kadang mencaci remeh ayam lawan, bahkan hingga ayam dukungannya terseok keok oleh luka tusukan dan sobekan taji.

Namun, seseru apapun taruhan serta pertarungan ayam di atas ring, sesungguhnya semua itu hanya tampilan permukaan. Yang bertarung sesungguhnya adalah pemilik ayam dan pemilik modal yang sedang duduk mengamati dari jarak tertentu. Pemilik ayam mungkin tidak punya cukup duit, dan yang punya duit mungkin tidak punya ayam handal; simbiosis mutualisme.

Begitulah, sesama pemilik ayam dan pemilik modal masing-masing membangun sebuah bentuk relasi unik. Tidak atas dasar kesamaan etnik, bahasa, ras, agama, kemanusiaan dan sebagainya, melainkan atas dasar kepentingan babakan; “menang”. Dan inilah satu-satunya pengikat relasi itu. Karenanya, pada suatu kesempatan mereka tampak berteman dan pada kesempatan lain berlawan.

Suatu bentuk relasi yang juga sering kita temukan dalam perkembangan mutakhir politik kita. Relasi yang merupakan anak kandung dari dunia kompetisi. Lahir dari sebuah kerangka kesadaran “menang-kalah” bahwa; aku harus menang, orang lain adalah lawan dan harus kalah. Maka jagalah lawan senampak teman sejati, karena merekalah sumber-sumber kemenangan.

Relasi ini pula yang pernah diurai apik Gunawan Muhamad dalam menafsir Nietzsche; Also Sprach Zarathustra pada sebuah esaynya Zarathustra di Tengah Pasar.

“Tidakkah pasar adalah sebuah tempat di mana kesendirian sebenarnya justru hadir: kebersamaan yang semu, perjumpaan yang sementara dan hanya berlangsung di permukaan, pertemuan antara sejumlah penjual dan sejumlah pembeli yang masing-masing pertama-tama hanya memikirkan bagaimana kebutuhan sendiri terpenuhi?” Bukankah arena judi adalah sebutan lain bagi pasar judi?

Cicak versus buaya bukan panggung judi, tetapi di sana ada pertarungan kuasa dan pertaruhan kelas, gengsi dan kehormatan. Ia menjadi ramai karena sorakan penonton yang baik secara diam-diam atau terang-terangan berpihak pada salah satu dukungannya.

Sejauh hal yang bisa dicermati, tak ada ayam beradu ke panggung atas kemauan sendiri. Selalu ada para pemilik ayam dan pemilik modal sebagai penguasa pertarungan. Mungkinkah cecak versus buaya seperti ayam?

Entahlah. Namun, yang dapat dipahami bahwa panggung tak pernah menampakkan permainan dan pertarungan yang sesungguhnya.

Sebagaimana dunia pasar, dunia panggung adalah dunia akting dimana para aktor bermain atas kehendak skenario. Keramaian, keberagaman, kebersamaan, perjumpaan, kegembiraan hanyalah hiruk-pikuk yang menggemborkan keriuhan publik yang ikut bertaruh.

Publik hanyalah para petaruh yang di sudut kiri bertaruh untuk A dan di sudut kanan bertaruh untuk B. Sementara yang terjadi sesungguhnya adalah pertarungan individual oleh sutradara-sutradara kawakan. Others is rival.

Akhirnya kita pasti meyakini bahwa sehebat apapun, tak pernah ada lembaga tinggi negara dengan sengaja berduel di panggung atas nama negara. Tetapi negara dibuat menjadi panggung pertarungan, itu bisa jadi. Dilakukan bukan oleh ayam, cicak atau buaya hebat, melainkan orang hebat. (*)

Pinrang, 27 Januari 2015

*) Dimuat pada Rubrik “Literasi” Harian Tempo Makassar, 31 Januari 2015