HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Puisi untuk Pak Rektor

February 20, 2025 10:52
IMG-20250220-WA0084

Oleh: Wahyu Iryana

Pak Rektor,
pagi-pagi sekali, jalan menuju kampus masih berembun
dan pohon-pohon akasia di tepi jalan
mengibaskan daun-daun yang jatuh semalam,
seperti tangan yang lelah menghapus mimpi.

Pak Rektor,
di bawah rindang pohon tanjung yang kau tanam bertahun lalu,
para mahasiswa duduk berbaris di kursi panjang,
membuka buku, mencatat kata-kata,
membaca masa depan yang tak selalu terang.

Mereka bicara tentang kampus hijau,
tentang daun yang menyimpan harapan,
tentang angin yang berbisik di sela tiang bendera,
tentang hari esok yang ingin mereka bangun dengan cinta.

Pak Rektor,
ada yang bertanya, apakah kita masih bisa
mempercayai hujan sebagai berkah,
ketika sungai kecil di dekat masjid
tak lagi jernih seperti doa selepas Subuh?

Ada yang bertanya, apakah kampus ini
akan tetap menjadi tempat berteduh,
ketika pohon-pohon yang kau pelihara
mulai diganti aspal dan beton yang bisu?

Pak Rektor,
suatu kali kau berkata:
“Hijau bukan sekadar warna,
tetapi doa yang tumbuh di tanah kita.”
Maka, kami menanamnya di hati,
kami menyiramnya dengan harapan.

Namun, pagi ini aku melihat seseorang
memangkas dahan flamboyan di depan gedung tua,
meninggalkan batang yang telanjang,
seperti tubuh yang kehilangan bayangan.

Pak Rektor,
bagaimana cara menjelaskan kepada angin
bahwa pohon-pohon yang ia peluk semalam,
hari ini telah tiada?

Bagaimana menjelaskan kepada burung-burung,
bahwa mereka harus mencari rumah baru,
jauh dari tempat kita pernah berjanji
menjaga bumi dengan ilmu dan doa?

Pak Rektor,
aku tahu kau lelah,
aku tahu di meja kerjamu
ada berkas-berkas yang menumpuk,
ada angka-angka yang menuntut makna,
ada kebijakan yang harus diambil
dengan hati yang bijaksana.

Tapi ijinkan aku berkata,
bahwa kampus ini bukan sekadar ruang kelas,
bukan sekadar bangunan megah,
tetapi juga sepotong surga kecil
yang tumbuh dari akar keikhlasan.

Pak Rektor,
mungkin kita tak bisa menyelamatkan semua,
mungkin satu dua pohon akan tumbang,
mungkin satu dua mimpi akan patah,
tapi selama engkau masih percaya
bahwa hijau adalah doa,
bahwa tanah ini adalah amanah,
maka masih ada harapan
untuk kita semua.

Pak Rektor,
aku menulis ini di pagi yang sendu,
ketika matahari masih enggan menyapa,
ketika seorang mahasiswa duduk sendiri di bangku taman,
membaca buku tentang masa depan.

Mungkin, entah kapan,
ia akan menjadi seperti engkau,
menanam pohon,
menanam harapan,
agar kampus ini tetap hidup
di bawah bayang-bayang kebijaksanaan. (*)

*) Penyair Dari Tanah Pasundan, Tanah Yang diciptakan Tuhan ketika tersenyum.