Bagindo Muhammad Ishak Fahmy
Kaba “Catuih Ambuih”
HATIPENA.COM – Berdasarkan data yang tersedia, pembayaran bunga utang Indonesia telah mengalami peningkatan signifikan dari tahun ke tahun. Berikut adalah rincian pembayaran bunga utang pemerintah Indonesia dari tahun 2018 hingga proyeksi tahun 2025:
Tahun Pembayaran Bunga Utang
(Dalam Triliun)
Tahun 2018 Rp258,09; tahun 2019 Rp275,54; tahun 2020 Rp314,08; tahun 2021 Rp343,49; tahun 2022 Rp386,34; tahun 2023 Rp439,88; tahun 2024 *Rp497,3; dan tahun 2025 *Rp552,9.
Sumber data media online Kompas (28 September 2024), CNBC Indonesia (23 Mei 2023) ,CCN Indonesia (23 Mei 2023) , Bisnis (17 Agustus 2024) , DDTCNews ( 10 Juli 2024).
Angka untuk tahun 2024 dan 2025 merupakan proyeksi berdasarkan dokumen Nota Keuangan dan RAPBN.
Peningkatan pembayaran bunga utang ini sejalan dengan bertambahnya outstanding utang pemerintah. Selain itu, rasio pembayaran bunga utang terhadap penerimaan negara juga menunjukkan tren peningkatan, mencapai puncaknya pada tahun 2020 sebesar 19 persen, yang melebihi batas rekomendasi IMF sebesar 10 persen.
Perlu dicatat bahwa pembayaran bunga utang ini terdiri dari bunga utang dalam negeri dan luar negeri. Misalnya, pada tahun 2024, pembayaran bunga utang dalam negeri direncanakan sebesar Rp456,8 triliun, sementara bunga utang luar negeri sebesar Rp40,4 triliun.
Dengan melihat data utang bunga yang semakin meningkat tajam, kondisi ini sangat memprihatinkan. Apalagi, ini belum mencakup pembayaran pokok utang yang belum diangsur. Artinya, tidak ada pengurangan terhadap pokok utang, dan jika indikasi pembayaran utang hanya bisa dilakukan dengan mengambil pinjaman baru, maka ini mencerminkan situasi yang jauh dari ideal.
Dalam praktik perbankan, jika seorang debitur harus mengambil pinjaman baru hanya untuk membayar bunga utang sebelumnya, hal ini menandakan adanya kesulitan “cash flow” atau arus kas yang serius. Menurut prinsip perbankan yang sehat, aspek ini masuk dalam penilaian 6C (Character, Capacity, Capital, Condition, Collateral, dan Cash Flow). Jika cash flow terganggu, bank cenderung tidak lagi memberikan pinjaman baru, melainkan melakukan penyelematan melalui restrukturisasi utang agar tidak semakin membebani debitur.
Keadaan ekonomi Indonesia saat ini menunjukkan gejala serupa, di mana pembayaran bunga utang semakin membebani keuangan negara, sementara pokok utang belum menunjukkan tanda-tanda penurunan.
Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar: Apakah kita benar-benar dalam kondisi ekonomi yang stabil? Ataukah ini merupakan dampak dari tata kelola yang kurang efektif dan meningkatnya tingkat korupsi yang justru semakin menjadi tren, bukan menurun?
Selain itu, apakah efisiensi atau refocusing anggaran akan benar-benar menyelesaikan persoalan ini, atau justru menciptakan tantangan baru? Pemotongan anggaran pemerintah tentu berpotensi mempengaruhi pasar yang selama ini relatif banyak memberikan dampak positif bagi perekonomian. Oleh karena itu, langkah efisiensi harus dilakukan secara hati-hati dan terukur agar tidak menimbulkan gejolak di masyarakat.
Efisiensi yang perlu dilakukan harus berbasis pada rasionalisasi belanja negara tanpa mengorbankan sektor-sektor yang berperan vital dalam pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Beberapa langkah yang bisa diambil meliputi pengurangan belanja yang tidak produktif, reformasi birokrasi untuk mengurangi pemborosan, serta optimalisasi penerimaan negara melalui peningkatan kepatuhan pajak dan penertiban kebocoran anggaran.
Sementara itu, terdapat beberapa sektor yang tidak boleh mengalami pemotongan anggaran atau refocusing secara drastis, seperti pendidikan, kesehatan, dan bantuan sosial bagi masyarakat rentan. Pemotongan anggaran di sektor-sektor ini berisiko menurunkan kualitas sumber daya manusia, memperburuk akses layanan kesehatan, serta meningkatkan ketimpangan sosial yang dapat berujung pada instabilitas ekonomi dan politik.
Selain itu, revisi Undang-Undang Minerba juga menjadi faktor penting dalam meningkatkan penerimaan negara. Selama ini, regulasi sektor pertambangan cenderung lebih berpihak pada pengusaha, yang berkontribusi pada minimnya pemasukan negara dari sumber daya alam yang dikelola.
Revisi yang lebih berpihak kepada kepentingan negara dan rakyat harus segera dilakukan guna memastikan bahwa eksploitasi sumber daya alam memberikan manfaat yang lebih besar bagi keuangan negara dan kesejahteraan masyarakat.
Di sisi lain, upaya hukum untuk mengesahkan Undang-Undang Perampasan Aset bagi pelaku tindak pidana korupsi harus menjadi prioritas. Tanpa regulasi yang kuat, pemulihan aset hasil korupsi masih menghadapi berbagai kendala hukum yang memungkinkan para pelaku tetap menikmati hasil kejahatannya.
Penerapan UU ini akan menjadi langkah strategis dalam menutup kebocoran anggaran akibat korupsi serta meningkatkan efektivitas pemanfaatan dana negara untuk kepentingan publik.
Ekonom senior seperti Faisal Basri (Alm) telah berulang kali memperingatkan bahwa ketika utang hanya digunakan untuk membayar bunga utang lama tanpa ada upaya serius untuk mengurangi pokok utang, maka kita semakin dekat dengan jebakan utang (debt trap).
Joseph Stiglitz, peraih Nobel Ekonomi, juga menekankan bahwa kebijakan fiskal yang tidak produktif hanya akan membebani generasi mendatang tanpa menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Namun, jika pemerintah gagal mengatasi permasalahan ini, konsekuensi yang akan terjadi sangat serius. Dari sisi sosial kemasyarakatan, meningkatnya beban utang negara dapat berujung pada pemotongan anggaran sektor vital, yang berdampak pada menurunnya kualitas pendidikan, layanan kesehatan, dan kesejahteraan masyarakat.
Kesenjangan sosial akan semakin melebar, memicu meningkatnya angka kemiskinan dan pengangguran. Ketidakpuasan masyarakat dapat berujung pada gelombang protes dan ketidakstabilan politik yang lebih besar.
Dari sisi ekonomi, beban utang yang terus meningkat tanpa solusi konkret akan menurunkan kepercayaan investor terhadap Indonesia. Risiko gagal bayar utang akan meningkat, yang dapat memicu penurunan peringkat kredit negara, melemahkan nilai tukar rupiah, serta meningkatkan inflasi. Pemerintah akan kesulitan mendapatkan pendanaan baru dengan bunga yang lebih rendah, sehingga menambah beban keuangan negara.
Dalam skenario terburuk, krisis keuangan dapat terjadi, di mana pemerintah terpaksa mengambil langkah-langkah ekstrem seperti menaikkan pajak secara drastis, mengurangi subsidi, dan melakukan pemotongan anggaran besar-besaran. Langkah-langkah ini justru dapat memperburuk daya beli masyarakat, menekan konsumsi domestik, serta memperlambat pertumbuhan ekonomi.
Kesimpulannya, jika pemerintah tidak segera mengimplementasikan kebijakan fiskal yang lebih disiplin, mengoptimalkan penerimaan negara, dan memberantas korupsi, Indonesia berisiko mengalami stagnasi ekonomi berkepanjangan, krisis keuangan, dan ketidakstabilan sosial yang sulit dipulihkan. Oleh karena itu, langkah-langkah mitigasi yang tepat harus segera dilakukan untuk menghindari konsekuensi yang lebih buruk di masa depan. (*)
Padang, 19 Februari 2025