Ilustrasi : Meta AI/ Rizal Pandiya
Oleh: Wawan Susetya *)
HATIPENA.COM – KETIKA Allah Swt akan menciptakan manusia sebagai khalifah (wakil Allah di muka bumi), dengan serta-merta para malaikat paling senior memprotes kehendak Allah.
Barangkali, sikap protesnya para malaikat itu benar, setidaknya menurut malaikat. Sebab membayangkan akan terjadinya peperangan dan pertumpahan darah sebagaimana yang pernah dialami khalifah di muka bumi sebelumnya; yakni dari golongan jin.
Memang, maraknya aksi peperangan di antara sesama makhluk jin saat penobatan mereka sebagai khalifah tersebut mengisyaratkan kegagalan golongan jin menjadi khalifah. Karena didorong rasa kekhawatiran itulah, akhirnya para malaikat menyampaikan usulannya kepada Allah agar membatalkan rencana Tuhan menciptakan khalifah di muka bumi.
Hal itu dijelaskan Allah sendiri dalam al-Quran secara jelas, yakni dalam Surah Al Baqarah ayat 30.
Tapi, Allah pun bertindak secara demokratis terhadap makhluk-Nya. Ketika malaikat menyampaikan keberatannya itu, lalu Allah pun hendak menguji kepada malaikat dan manusia (yang diwakili Adam; sebagai manusia pertama) agar menyebutkan nama-nama benda (Asmaaul Husna).
Ternyata malaikat tidak bisa, sedangkan Adam bisa menyebutkannya dengan baik. Nah, dari ujian pertama ini, jelas mengisyaratkan bahwa manusia (Adam a.s) lebih unggul daripada malaikat.
Karena malaikat terbukti gagal mengunjukkan hujjah (argumentasi)-nya kepada Allah, maka Allah pun meneruskan rencana dalam kehendak-Nya yang mutlak; yakni menobatkan manusia sebagai khalifah di muka bumi yang dipresentasikan oleh Nabi Adam a.s.
Setelah sekian lama manusia mengelola bumi seperti yang ditulis M Quraish Shihab dalam bukunya Lentera Hati (1997), rupanya muncul protes malaikat yang kedua. Para malaikat itu menggerutu: Terlalu banyak dosa manusia dan lingkungannya pun dirusaknya.
Dengan pernyataan itu, mereka (para malaikat) merasa lebih bersih dan lebih mampu ketimbang manusia yang sudah ditetapkan Allah menjadi khalifah di muka bumi. Jika protes malaikat yang pertama Allah menguji dengan ujian lisan, namun pada protes malaikat yang kedua ini, Allah menguji mereka dalam bentuk praktik.
Para malaikat yang memprotes manusia itu diperintahkan memilih wakil mereka untuk menggantikan manusia, sehingga terpilihlah dua orang malaikat, yakni Harut dan Marut. Lalu, keduanya dipersilakan oleh Allah agar turun ke muka bumi menjadi khalifah.
Syahdan, ketika keduanya turun ke bumi, pertama kali mereka bertemu dengan seorang wanita yang sangat cantik. Lebih gila lagi, rupanya wanita cantik tadi malah bersedia melayani sang malaikat dengan suatu syarat; yakni kedua malaikat tadi harus mempersekutukan Tuhan terlebih dahulu. Tentu, syarat yang diajukan wanita tadi terasa berat oleh kedua malaikat, sehingga mereka pun enggan memenuhinya.
Kalau begitu membunuh saja, kata si wanita jelita menawarkan persyaratan yang diaggapnya lebih ringan kepada dua malaikat itu.
Lagi-lagi, Malaikat Harut dan Marut menampiknya, karena merasakan persyaratan seperti itu tak mungkin dilakukannya. Nampaknya, si wanita cantik tadi tak patah semangat. Ia lalu mengeluarkan jurus pamungkasnya: Nah, sekarang hanya dengan syarat yang ringan saja. Engkau harus meminum seteguk minuman keras ini, maka akan kuserahkan diriku kepadamu masing-masing.
Untuk tawaran kali ini, rupanya Harut-Marut menyetujuinya tanpa merasa keberatan sama sekali. Tetapi, apa yang terjadi setelah mereka meminum seteguk minuman keras? Ternyata, setelah keduanya meminum air beralkohol itu, mereka menjadi mabuk karenanya.
Akibatnya, tanpa sadarkan diri mereka terlibat dalam aksi pembunuhan kepada sesama makhluk Allah, berzina, bahkan mereka pun mempersekutukan Tuhan dengan yang lainnya, dan rahasia langit pun mereka beberkan kepada orang banyak. Dan, si wanita pelacur tadi berubah menjadi planet Mars yang sudah dikenal manusia di bumi.
Demikianlah mitos Arab kuno serta berbagai riwayat yang ditemukan dalam beberapa tafsir yang menjelaskan siapa sebenarnya Harut dan Marut, dua nama yang disebutkan dalam al-Quran Surah al-Baqarah ayat 102.
Bagi sebagian pemikir Muslim kontemporer, mitos di atas dipahami sebagai simbolisasi kehidupan berpolitik masyarakat manusia. Artinya, kelompok yang berada di luar pemerintahan selalu menilai pemerintahan dengan kekurangan dan kegagalan.
Orang yang berada di luar pemerintahan juga menganggap dirinya bersih, mampu serta pasti sukses jika menjalankan tugas pemerintahan. Tetapi, tidak demikian itu kenyataannya bila yang di luar masuk ke dalam, walaupun kelompok luar itu memilih wakilnya yang terbaik. Tetapi kenyataannya, mereka tidak lebih bersih jika mereka diberi kesempatan masuk ke dalam.
Sebagaimana yang terjadi pada para aktivis kemahasiswaan, aktivis kemanusiaan, pembela dan pejuang rakyat, para intelektual dan cendekiawan dan seterusnya, awalnya mereka memang benar-benar memiliki idealisme yang kuat. Tetapi, ketika mereka dipercaya mengemban suatu amanat di pemerintahan yang lahan basah, toh sudah terbukti banyak yang mengalami KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme).
Begitu pula dengan yang terjadi pada Malaikat Harut dan Marut. Semula, keduanya memang memiliki idealisme untuk mengemban misinya sebagai khalifah di muka bumi, tetapi sebentar saja keduanya sudah tergelincir. Pada awalnya pun yang di-jual hanyalah yang kecil-kecil, imbalannya pun hanya seteguk minuman keras, tetapi tanpa disadari segalanya dapat terjual.
Lebih menarik lagi yaitu pandangan Prof. Dr. Zaki Mahmud, cendekiawan Mesir. Ia melihat makna lain dari mitos ini, yakni malaikat dianggap sebagai makhluk yang berpikir, tapi tidak memiliki jasmani; dan itulah ilmuwan. Sementara, bumi yang dimaksud dalam mitos ini adalah kehidupan praktis khususnya di perpolitikan.
Jika diungkapkan dengan bahasa bebas, tepatkah para ilmuwan atau cendekiawan yang kemudian terjun ke politik praktis dan menjadi pejabat publik lainnya? Kemungkinan besar, mereka akan gagal menangani di dalamnya. Dan itulah makna mitos di atas, sebab malaikat identik dengan pemikir yang akhirnya gagal melaksanakan tugasnya di bumi.
Dan itulah sebabnya, siapapun yang tidak tergoda terhadap harta, tahta dan wanita (tiga ta), maka dialah yang akan terselamatkan dari sel jeruji pengap yang kini banyak dihuni oleh orang-orang yang sebelumnya sangat terhormat. (*)
*) Sastrawan, budayawan dan penulis Satupena Jatim, tinggal di Tulungagung-Jatim.