Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Kalo Gue Jadi Presiden

February 21, 2025 11:35
IMG-20250221-WA0054(1)

Oleh Anto Narasoma

HATIPENA.COM – Meski pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) sudah berakhir, namun getarannya masih begitu terasa.

Tak hanya kaum politisi dari berbagai partai saja yang dibuat sibuk akibat getaran pemilu 2024 tersebut, namun eksistensi seniman juga mulai berancang-ancang untuk ambil bagian dalam suasana pesta demokrasi itu.

Seperti diungkap presiden pertama negeri ini, Ir H Soekarno, siapa saja, golongan dari mana saja, baik orang kaya, maupun kaum melarat, mempunyai hak politik untuk ikut berjibaku di dalam pesta demokrasi tersebut.

Mencermati isi buku antologi puisi bertajuk Kalo Gue Jadi Presiden yang digagas Koloni Seniman Ngopi Semeja Jakarta, ada sesuatu yang menarik untuk dikupas.

Dari prinsip dasar yang dikemukakan penggagas rencana penerbitan buku Kalo Gue Jadi Presiden –Jimmy S Johans–, kreasi seniman akan ditumpahkan ke dalam pergulatan pesta rakyat tersebut. Apalagi tak ada batasan apakah dia itu orang kaya, miskin, dan dari mana saja ia berasal, hak politiknya sama.

Dari judul buku dengan menggunakan bahasa daerah (Betawi) Kalo Gue Jadi Presiden, tentu akan menghadirkan kekayaan persepsi yang berbeda-beda.

Apalagi puisi-puisi yang akan mengisi rangkaian di dalam buku itu, dihimpun dari penulis yang “bukan” penyair. Dari sub judulnya saja, Segerobak Puisi dari Rakyat. Tentu nilai rasa dari kata-katanya akan menjelaskan keinginan yang beragam coraknya.

Seperti dikemukakan IA Richard, kalimat dalam puisi itu mempunyai nilai rasa (feel), nilai arti (sense), ada nada (tone), serta tujuan isi (intention).

Apakah puisi-puisi yang dihimpun nanti mengandung empat komponen seperti yang disebutkan di atas?

Ini yang perlu kita garis bawahi. Sebab secara estetika, komponen isi di dalam kalimat, harus memiliki sense, feeling, tone, and intention.

Inilah yang menjadi tatanan seni kata-kata di dalam isi puisi tersebut. Andaikan karya yang diterima tidak mengandung unsur empat komponen seperti yang dijelaskan IA Richard tersebut, apakah layak disebut puisi?

Sebab secara tematik, puisi-puisi yang akan menghiasi buku Kalo Gue Jadi Presiden itu diharapkan mampu memahami dan menjelaskan lapis tema terkait judul buku?

Secara efonis, para penyair (analisis) akan berusaha memahami dan menjelaskan lapis bunyi dalam tiap cipta sastra (puisi).

Untuk menjelaskan unsur-unsur di dalam baris puisi, masih berlaku teori dikotomi yang memandang karya sastra puisi dari sudut bentuk (corak) dan isi.

Seperti dikemukakan seorang tokoh sastra dari Polandia, Roman Ingarden, karya sastra merupakan struktur norma yang terdiri dari lapis-lapis norma.

Karena itu lapis norma yang berada di atas, menyebabkan timbulnya lapis norma yang berada di bawahnya. Lapis norma yang berada di atasnya disebut lapis bunyi. Sedangkan dari lapis bunyi tersebut, menimbulkan lapis kedua, yakni lapis arti.

Setiap kata mempunyai artinya sendiri. Apabila kata-kata tunggal bergabung dalam konteksnya, maka timbulah frase. Frase-frase itu akan melahirkan pola-pola kalimat.

Jadi, hakikat dari metode puisi itu merupakan satuan sintaksis yang menimbulkan lapis ketiga, yakni obyek isi yang akan dikemukakan penulis.

Seperti yang dikemukakan Ralph Waldo Emerson, puisi mengajarkan sebanyak mungkin nilai rasa dan isinya, namun diungkap dengan unsur kata-kata yang sesedikit mungkin.

Kembali ke buku antologi Kalo Gue Jadi Presiden tentu memiliki daya ungkap yang berbeda-beda dijelaskan dalam narasinya. Apakah puis-puisi yang dihimpun panitianya akan memiliki kandungan estetika seperti yang sudah disebutkan di atas?

Kita berharap agar penggagas antologi puisi ini –Jimmy S Johans– bisa mempertimbangkan prinsip dasar dari komposisi puisi yang dikirim penulisnya. Sukses ! (*)