Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025

Empat Pilar Hikmah dari Tanah Gayo

February 21, 2025 17:25
IMG-20250221-WA0075

Ilustrasi : AI/ L K Ara
Penulis : L K Ara


HATIPENA.COM – Di bawah langit biru yang berarak,
angin dari Lut Tawar membawa suara leluhur.
Para petani merapikan pucuk-pucuk kopi,
pasar riuh dengan tawa dan tawar-menawar,
sementara di rumah panggung yang teduh,
seorang ayah duduk di antara anak-anaknya,
menyampaikan amanat yang diwariskan turun-temurun.

“Anakku,” katanya,
“hidup ini mesti berlandaskan Peri Opat.”
“Lisik agar kau berhasil, Mersik agar kau selamat,”
“Urik menimbang dunia dan akhirat, Bidik agar tak jadi beban.”
“Perhatikanlah baik-baik, sebab ini lebih dari sekadar nasihat.”

-0-

1. Lisik – Kerja Keras dalam Didong

Di malam yang dingin, di bawah lampu minyak,
para pemuda duduk bersila,
suara mereka saling bersahut,
menyusun bait-bait yang menari dalam gelap.

“Bangunlah, wahai anak negeri!”
“Jangan malas, jangan lalai!”
“Seperti kopi yang dipetik dan disangrai,”
“hidup ini mesti diolah agar harum.”

Didong bukan sekadar nyanyian,
melainkan kerja keras yang tiada henti.
Seperti Muh Basir Lakiki yang tak pernah letih merangkai syair,
Sali Gobal yang menjaga irama dalam dada,
To’et, Daman, dan Sahak yang suaranya membelah malam,
merekalah penjaga nada dan makna,
mengukir sejarah dalam senandung.

“Lisik, anakku!” kata sang ayah,
“sebab hidup tanpa kerja hanya akan melahirkan kehampaan.”

-0-

2. Mersik – Keberanian dalam Tari Guel

Di pelataran, di tengah lapangan luas,
seorang pemuda berdiri gagah.
Matanya nyala, geraknya tegas,
ia menari untuk leluhur, untuk tanah ini.

Ketika rebana bertalu,
ia menunduk memberi hormat.
Ketika serunai melengking,
ia tegak, dadanya membusung.

Tari Guel bukan sekadar gerak,
tetapi keberanian menyuarakan jati diri,
membela yang benar, menolak yang batil,
seperti pahlawan yang tak gentar berdiri di garis depan.

“Mersik, anakku!” kata sang ayah,
“sebab takut dalam kebenaran lebih buruk dari berani dalam kesalahan.”

-0-

3. Urik – Kebijaksanaan dalam Saman

Di meunasah, anak-anak muda berbaris rapi.
Mereka duduk, tangan di lutut,
lalu serempak bergerak, serempak berseru,
menciptakan irama yang satu.

Saman bukan hanya tari,
tetapi keseimbangan dan kebersamaan,
sebab hidup bukan milik satu orang,
melainkan tentang berbagi dan memahami.

Bahu bertemu bahu,
mata bertemu mata,
tak boleh mendahului, tak boleh terlambat,
sebab harmoni hanya lahir dari kebijaksanaan.

“Urik, anakku!” kata sang ayah,
“pilihlah yang benar, timbanglah dengan hati,
sebab jalan yang tampak mudah belum tentu membawa keselamatan.”

-0-

4. Bidik – Ketepatan dalam Hidup

Di tanah yang subur ini,
setiap butir kopi yang jatuh dipilih satu per satu,
sebab biji yang baik akan menghasilkan rasa yang nikmat,
dan biji yang buruk hanya akan merusak segalanya.

Begitu pula hidup.
Salah langkah, kau akan tersesat.
Terlalu lambat, kau akan tertinggal.
Terlalu cepat, kau bisa jatuh.

“Bidik, anakku!” kata sang ayah,
“hiduplah dengan cermat, bertindaklah dengan tepat,
sebab keputusan kecil bisa mengubah seluruh takdir.”

-0-

Malam itu, angin kembali berembus dari Lut Tawar.
Anak-anak itu mengangguk, menyimpan amanat dalam dada.
Didong terus bersenandung di kejauhan,
Tari Guel terus bergema di tanah adat,
Saman tetap menari dalam ketepatan,
dan di antara mereka,
Peri Opat terus hidup,
seperti akar yang tak terlihat,
tapi menghidupi setiap pohon yang tumbuh.

-0-

Catatan

Puisi esai ini menjadi gambaran bahwa nilai Peri Opat tidak hanya sebagai pedoman hidup, tetapi juga hidup dalam seni dan budaya masyarakat Gayo. Didong, Tari Guel, dan Saman adalah cerminan dari kerja keras, keberanian, kebijaksanaan, dan ketepatan dalam bertindak, sebagaimana yang diwariskan leluhur.(*)

Kalanareh, Januari 2025