Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Cinta di Lapak Rongsok

February 23, 2025 10:56
IMG-20250223-WA0071

Cahaya di Langit Qatar #7

HATIPENA.COM – “Kira-kira mau diajak kemanakah diriku ini, Nak?” tanyanya iseng.
“Oh, banyak sekali tempat indah di Pulau Seribu Masjid ini, Umah. Kudengar, selama ini Umah selalu sibuk setiap kali datang ke Lombok. Saatnya wisata denganku, ya, Umah,” ajaknya bersemangat.
“Sok tahu, ah!” Saribanon tertawa.

“Coba sebutkan ke mana saja Umah pernah melancong di sini?”
“Hanya Senggigi dan Batu Layar,” sahutnya harus mengakui.
“Bagaimana kalau kuajak ke pulau kecil yang dikelola temanku?”
“Hmmm, boleh juga, asalkan kau mau berbagi kisah hidupmu denganku. Bagaimana?”
Saribanon telah mendengar sekilas lakon hidup Fitri dari bibinya.

Menikah dalam usia belia, selepas dari bangku SD. Mendapat perlakuan buruk dari keluarga suami. Mulai dengan menjauhkannya dari suaminya hingga berujung dijualnya ke agen pencari tenaga kerja.
“Aku berusaha melupakan luka masa lalu. Apa harus kubuka kembali, Umah?” parau suara Fitri mengandung kepedihan yang dalam.
“Maafkan, Nak, lupakan permintaanku yang konyol.” Saribanon meraih tangannya, menyatakan penyesalan.
“Tidak, Umah! Memang harus kuhadapi kembali trauma masa lalu itu dengan mengungkapnya kepada seseorang,” tukas Fitri kali ini terdengar serius.

Mereka telah tiba di sebuah pulau mungil di kawasan Lombok Barat, ketika Fitri memulai lakon hidupnya. Sebuah kisah anak manusia perempuan yang sungguh dramatis. Ketakberdayaan, kemiskinan dan kesewenangan yang menimpanya sejak kecil.

Ibu Fitri, istri kedua seorang lelaki berstatus karyawan perusahaan asing. Setelah melahirkan Fitri, ibunya diceraikan. Membawa derita, ibu Fitri nekad merantau dan menitipkan bayinya yang baru enam bulan kepada keluarganya.
“Sebentar, merantau itu maksudnya bagaimana?” tukas Saribanon.
“Kerja ke Arab Saudi….”
“Oh!”
“Sejak itulah aku dititipkan ke sana ke mari,” ujar Fitri, berusaha mengenang kepahitan masa kecilnya yang sarat dengan nestapa dan airmata.

Saribanon memasuki bungalow milik sahabat Fitri.
“Masya Allah!” serunya tertahan.
Pemandangannya sungguh memesona. Dari jendela kamarnya tampaklah laut biru membentang, perahu nelayan, kapal boat patroli, dermaga kecil. Beberapa turis asing turun dari sebuah kapal boat.

”Kadang nenek mau menampungku di gubuknya yang reyot. Namun seingatku, nenekku bersikap acuh tak acuh kepadaku. Aku tak tahu bagaimana sebenarnya perasaannya terhadapku. Kadang baik, mengurusku alakadarnya, tetapi sering pula dingin tak berperasaan.”

Saribanon membayangkan Fitri kecil mengemis kasih sayang dari neneknya sendiri.
“Hmm, ada ya, nenek seperti itu?” tak tahan Saribanon berkomentar.
“Ada, ya, itu buktinya nenekku,” sahut Fitri seraya tertawa pahit.

Saribanon tercenung. Andaikan diberi kesempatan dititipi cucu, niscaya ia akan merawat dan melimpahinya dengan sepenuh rasa cinta yang dimilikinya.

“Kadang ada juga bibi atau paman yang menerimaku, memberi makan, mengasuhku. Semuanya itu alakadarnya, agar mereka tidak dituding tetangga malas merawatku. Ayah bersaudara banyak, seingatku ada sembilan saudaranya. Ayahku anak tertua.”
Jika tak ada yang mau memedulikan dirinya, Fitri pun bergentayangan dari rumah tetangga ke tetangga lainya.

Akhirnya Fitri kecil hidup dari belas kasih masyarakat setempat.
Ayahnya terlalu sibuk dengan pekerjaan dan keluarganya sendiri, istri dan anak-anak yang pernah ditinggalkannya. Sepertinya ia merasa bersalah, sebab pernah menduakan cinta dengan perempuan lain.

“Aku tidak akan pernah lupa, Umah,” gumam Fitri. “Ketika ingin masuk SD, aku harus bolak-balik mencoba daftar sendirian, dan selalu ditolak. Mereka menanyakan orang tuaku. Aku nekad mendatangi rumah keluarga ayahku, menangis, meratap dan memohon-mohon seperti pengemis….”
“Buat apa sekolah?” teriak ibu tiri.
“Anak tidak tahu diri!” teriak kakak tiri.
“Ibumu saja sudah membuangmu, weeeew!” ejek kakak tiri lainnya.

Sekali itu, Fitri kecil bergeming dari tempatnya berdiri. Di otaknya yang mungil sudah terpeta satu misi yang akan ditorehkan dalam sejarah hidupnya.
Ayah harus dipaksa mendaftarkannya ke sekolah!
“Tolong, Yah, sekali ini saja, urus aku,” rengeknya.
“Ya, sudah, mari aku daftarkan kamu ke SD!” ajak ayahnya.

Ia menggiringnya menuju SD terdekat berjarak lima kilo dari rumah neneknya. Fitri kecil senang sekali ketika akhirnya kepala sekolah mau menerimanya sebagai muridnya.
“Dengar, ya, kalau kamu malas belajar, berhenti sajalah. Aku tidak akan peduli entah bagaimana nilai-nilaimu kelak!”

Perkataan ayahnya itu menjadi pemicu semangat belajarnya. Fitri sangat rajin belajar, meskipun tak ada yang memedulikan dirinya. Terpeta di benaknya bahwa drinya harus pintar. Harus berprestasi. Demi mendapatkan perhatian dan kasih sayang ayahnya.

Ketika naik kelas dua dengan peringkat tiga, ayahnya sama sekali tak menggubrisnya. Fitri mengartikannya bahwa ayahnya tidak puas. Tahun depan dirinya harus peringkat pertama!
Ia berjuang keras untuk memperoleh peringkat pertama. Sementara itu ayahnya hanya memberi uang saku alakadarnya. Tidak cukup untuk makan tiga kali.

Ia sering mengalami kelaparan hebat. Jika meminta makanan kepada paman dan bibinya, mereka sering memperlakukannya kasar sekali.
”Aku takkan pernah lupa, bagaimana mereka menampar, memukul, menjambak dan menendangku. Salah atau tidak salah, begtulah mereka memperlakukan diriku,” paparnya dingin.

Acapkali ia pergi ke rumah tetangga, Fitri sengaja duduk berlama-lama di teras. Hingga tetangga menyuruhnya masuk, kemudian memberinya makanan. Demikianlah terus dilakoninya selama berbulan-bulan.

Satu hari Fitri melihat sebuah peluang, memunguti rongsokan.
“Memunguti barang rongsokan saat kamu tujuh tahun?” seru Saribanon tertahan.
“Iya, Umah, itulah pekerjaan pertamaku yang mampu kulakukan. Yah, daripada kelaparan,” jawab Fitri, matanya mulai membasah.
Ia takkan pernah melupakan hari-hari tersulit di masa kecilnya. Semuanya masih terekam jelas di benaknya sepanjang hidupnya.

Meskipun ia telah melanglang buana ke Malaysia, Singapura, Brunei dan berakhir di Hongkong.
Usai sekolah yang dilakoninya dengan berjalan kaki pulang-pergi sejauh lima kilo, ia menuju lapak rongsok. Bang Umar, juragan rongsok akan menyambutnya dengan ramah.
“Makanlah dulu, Neng,” ajak istri Bang Umar yang tak kalah ramah dan baik hati seperti istrinya.

Saat itulah Fitri bisa merasakan suasana sebuah keluarga. Ada ayah, ibu dan dua anak yang masih Balita. Ia mengintip keharmonisan keluarga Bang Umar. Begitu penuh rasa sayang lelaki itu memperlakukan istri dan dua anaknya.
Usai menikmati makan siang buatan Mbak Tiwi, ia salin seragam dengan baju dinasnya.

Kemudian ia akan menyusuri sungai, memunguti barang-barang rongsok yang dibuang orang.
Kaki-kakinya yang mungil bergerak lincah di antara sampah, besi berkarat dan barang bekas yang dibuang orang di kawasan sungai. Ia akan memunguti semampu tangan-tangan kecilnya mengumpulkan.

“Dijual ke Bang Umar, lebih sering dikasih upah lebih. Dari situ bisa makan layak. Bisa beli baju, tidak perlu minta baju bekas dari abang-abang tiri,” paparnya mengenang.
Diam-diam Saribanon merekam semua curhatan gadis manis itu dengan alat perekam mini.

Fitri berlagak tidak mengetahuinya. Ia tampaknya tidak keberatan penulis sepuh ini mau mendengarkan, bahkan merekam kisah hidupnya.
“Ketika kelas dua aku berhasil jadi juara umum. Senang sekali rasanya. Aku berlari-lari kecil menuju rumah keluarga ayahku. Berjam-jam aku menunggu kepulangannya di bawah pohon jambu air depan rumahnya.”

“Menjelang sore akhirnya seorang abang tiri muncul dan mengusirku.”
”Pergi, he, anak jelek!”
“Aku hanya mau menunjukkan raport ini kepadanya, Bang. Boleh, ya Bang,” pintanya memelas.
“Tidak bisa Ayah lagi sakit Tidak boleh diganggu.”
”Sakit apa?” tanyanya terkejut.

“Kecelakaan, kemarin motornya keserempet mobil….”
“Aduh, apalagi begitu! Tolong, bawa aku ke tempat Ayah, Bang, tolong….”
“Tidak boleh! Eh, anak pembawa sial!” sergah ibu tiri yang muncul dan mendorong tubuh kecillnya kuat-kuat. Sehingga Fitri terlempar keluar pekarangan.

Pintu rumah itu tertutup rapat!
Fitri kecil tersaruk-saruk menuju gubuk neneknya. Ia berharap nenek mau menemaninya menengok ayahnya.

Dalam pikiran mungilnya jika ditemani nenek atau salah seorang adik ayah, mereka tentu memperbolehkannya jumpa ayahnya.
“Tidak! Ayahmu itu anak durhaka!” hardik neneknya dalam nada tinggi. Kamu harus tahu sekarang. Bahwa ayahmu itu tak pernah mau memedulikanku, ibu kandungnya sendiri!”

Sepanjang malam itu Fitri nyaris tak bisa memejamkan mata. Esok pagi ada utusan dari keluarga ibu tiri. Mengabarkan bahwa ayahnya telah meninggal.

“Aku menangis histeris, Umah. Menyesal karena tidak bertahan duduk di teras rumah ayahku. Tidak sempat menunjukkan raportku kepada ayahku. Juara pertamaku, rasanya sia-sia,” kesah Fitri membuat tubuh Saribanon serasa menggigil.
Ia membayangkan seorang anak kecil memegang raport, berguling-guling di tanah dengan tangis penyesalan. Tak sempat unjuk keberhasilan meraih juara pertama di sekolahnya kepada sang ayah.

“Sejak itu aku tak mau tinggal lagi di gubuk reyot nenek atau paman dan bibi. Aku ditampung di lapak rongsok Bang Umar. Dibesarkan dan dirawat dengan baik sebagaimana anak sendiri oleh Bang Umar dan Mbak Tiwi. Sayang sekali tidak berlangsung lama, hanya setahun saja….”
“Apa yang terjadi?” desak Saribanon penasaran, tatkala Fitri mendadak terdiam.

Agaknya ada yang merasa sangat iri dan dengki kepada Bang Umar.
Lapak rongsoknya memang terbilang berhasil. Bang Umar banyak jaringannya. Ia sukses mengangkut seluruh barang rongsok wilayah Lombok Barat ke tempat penampungan. (Bersambung)