Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Cerita Anak, Kurnia Effendi: Asupan Gizi Benak Sejak Dini

February 23, 2025 12:57
IMG-20250223-WA0086

Kontributor : Lasman Simanjuntak

JAKARTA, HATIPENA -Apakah buku ini menghimpun cerita yang ditujukan khusus bagi anak-anak? Apakah antologi ini berisi sejumlah cerita tentang anak-anak? Apakah cerpen-cerpen dalam kumpulan ini ditulis oleh anak-anak?

“Tidak semua terjawab dengan: ya. Namun demikian, kekeliruan kerap menyisipkan hikmah. Banyak orang besar (bukan soal fisik) yang tumbuh kukuh dimulai dengan belajar dari kekeliruan untuk tidak diulang,” ujar Kurnia Effendi.

Ia memberikan prolog dalam buku kumpulan cerita pendek (cerpen) Cerita Anak Indonesia produksi Taman Inspirasi Sastra Indonesia (TISI), yang telah dilaunching dan diskusi buku tersebut bertemakan “Mati Surinya Empati Terhadap Cerita Anak” berlangsung di Aula Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB.Jassin, Lantai IV Gedung Panjang Ali Sadikin, Pusat Kesenian Jakarta (PKJ) di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, Jumat (21/2/2025) siang.

“Wahai, para penulis dan adik-adik atau anak-anak tersayang, kesempatan menulis pengantar akan saya gunakan untuk menyampaikan sesuatu terkait buku ini. Ketika saya (dan Kakak Fanny J. Poyk) diminta menjadi kurator dan editor kumpulan cerita (untuk) anak-anak ini, merasa sangat terhormat. Bagi saya pribadi, tawaran ini merupakan tantangan,” katanya lagi.

Mengapa? Saya bukan psikolog, bukan guru, bukan pengasuh anak yang serta-merta memahami kebutuhan jiwa dan pikiran anak-anak. Saya seorang penulis yang (oleh satu dan lain hal) dituntut menjadi pemberi pesan—termasuk soal moral—melalui teks (dalam hal ini:) fiksi.

Dengan tiga pertanyaan di alinea pembuka, berdasarkan pengalaman, saya membagi “cerita anak” dengan: (1) Cerita untuk bacaan anak-anak yang ditulis oleh siapa pun.

(2) Cerita tentang anak-anak yang ditulis oleh siapa pun.

(3) Cerita apa pun yang ditulis oleh anak-anak. Mari kita tinjau bersama, ragam cerita seperti apa yang kemudian dikumpulkan dalam buku ini.

“Nah, sejak kami menerima satu demi satu cerita yang masuk, ternyata hampir separuhnya menempati “ketentuan” di luar ketiga penggolongan di atas, yakni cerita yang ditulis oleh orang dewasa dengan materi tidak sepenuhnya untuk anak-anak. Saya dan Kakak Fanny ingin bijaksana mengingat ini buah karya anggota komunitas orang dewasa yang sedang berusaha mendekati dunia anak-anak melalui ccerit,” ujarnya.

Jalan yang diharapkan sangkil dan mangkus karena pengetahuan pertama bagi kita saat kecil lebih kuat dan berkesan diasupkan melalui dongeng.

Kita semua—tanpa keajaiban—merambah realitas dimulai dengan belum bisa membaca sehingga memerlukan perantara orang (yang lebih) tua untuk membacakannya.

Oleh karena itu saya pribadi gembira menyambut semangat para penulis yang menyampaikan kisah dengan muatan pendidikan dan moral meskipun belum tepat. Kami harus maklum mengingat program ini tidak diawali dengan pelatihan atau lokakarya (workshop).

Dari pengalaman membaca dan menulis, juga mendengar berbagai saran psikolog atau pak dan ibu guru yang kebetulan mengampu pendidikan dasar; dapat “dirumuskan” kurang lebih sebagai berikut.

Anak-anak masih suka bermain dengan rasa ingin tahu tinggi, bahkan kadang-kadang berani melakukan tindakan yang mengandung risiko tanpa pembekalan.

Anak-anak tidak tahan membaca lebih dari sepuluh menit dengan perhatian yang sama. Tidak semua anak memahami metafora, simbolisme, diksi abstrak (kata “nakal” menurut saya tidak konkret karena definisi dan tafsirnya bermacam-macam).

“Anak-anak akan bingung dan tidak paham bila disuguhi problem orang dewasa, dan seterusnya.
Kembali lagi, saya sangat menghargai tulisan yang datang menghampiri redaksi. Mengingat tugas kami ada dua, kurasi dan penyuntingan, maka satu unsur ditoleransi. Pemilihan atau seleksi naskah dilonggarkan, kami mengutamakan niat dan semangat para penulis untuk memberikan sumbangsih bagi anak-anak,” kilah Kurnia Effendi, lebih dikenal sebagai seorang cerpenis handal.

Konsekuensinya adalah kami bekerja keras dalam penyuntingan. Naskah yang panjang kami ringkas tanpa mengurangi materi. Para penyair yang berupaya menulis prosa untuk anak-anak mengalami gegar kalimat sehingga kami memperbaiki baik struktur maupun tata cara menulis yang benar.

Istilah-istilah asing dikurangi, tetapi mempertahankan dialek kedaerahan—demi keinginan mendapatkan keberagaman bahasa/budaya.

Kami berdua juga tidak sesempurna yang diandalkan oleh penggagas dan pengelola komunitas TISI. Pengalaman panjang dalam dunia penulisan saja yang membuat kami berani menangani pekerjaan “sulit” ini. Kita (kami dan kalian) adalah orang-orang dewasa yang sedang menghibur dan memberi “wejangan” kepada anak-anak pembaca melalui cerita.

Perbedaan Usia

Banyak hal yang luput karena perbedaan usia yang jauh, juga agaknya sudah lupa dengan kebutuhan kita di masa kecil dahulu. Tidak mengapa.

“Mari kita jadikan buku ini sebagai pembelajaran bersama. Toh, dalam penggolongan sederhana, yang disebut anak-anak dimulai dari balita hingga 15 tahun (kelas 9 atau SMP),” pesannya.

Kisah Lima Sekawan karya Enid Blyton yang tersohor ke seluruh dunia adalah bacaan bagi anak-anak kelas empat SD hingga masa awal remaja di SMP.

Pengantar yang baik menuju bacaan fiksi dewasa.

Dengan niat baik sejak awal, saya dan Kakak Fanny mengapresiasi agenda TISI yang selalu peduli terhadap kebutuhan anak-anak.

Kami menyampaikan terima masih atas kesempatan terlibat dalam proses panjang ini kepada M. Oktavianus Masheka (pendiri TISI), Erni Endra Tujiniah (sebagai penanggung jawab program), dan Admin juga panitia yang tidak dapat kami sebut secara terperinci.

Semoga langkah kecil ini akan menyusun langkah besar menuju hari depan yang benderang. Kepada anak-anak pembaca, lahaplah cerita yang mungkin melampaui usia kalian.

“Orang-orang sukses kebanyakan mengasah kemampuan dengan membaca cerita di atas bacaan teman sebayanya.

“Salam hangat untuk semua,” pungkasnya.

Makin Kuatir Pada Gadget

Sementara itu dalam diskusi buku Cerita Anak Indonesia yang bertemakan “Mati Surinya Empati Terhadap Cerita Anak” Fanny Jonathan Poyk-selaku nara sumber- menyatakan keprihatinannya pada penggunaan gadget pada anak-anak sekarang ini.

“Saya kok makin kuatir pada anak-anak yang makin gandrung bermain gadget atau handphone android.Itu telah merusak otak anak-anak.Lihat saja anak-anak sekarang tidak ada rasa empati pada lingkungan sosial atau kepada orangtua,” ucapnya cerpenis dan penyair perempuan Indonesia ini.

Menurut Fanny-belakangan ini juga sering pameran karya lukisnya- sedih sekarang cucu umur setahun sudah “keranjingan” nonton di handphone android.

“Saya takut nanti anak-anak ini akan tercemari di media sosial.Saya perhatikan juga anak-anak sekarang gampang marah dengan kata-kata jorok dan tak pantas. Nah, di sinilah anak-anak.perlu kembali.membaca sebuah bacaan yang baik dan bisa menumbuhkan karakter yang baik pula untuk anak-anak,” pesannya.

Khusus tentang buku kumpulan cerpen Cerita Anak Indonesia, Fanny Jonathan Poyk-juga dikenal sebagai seorang jurnalis senior- mengatakan sebagai kurator buku tersebut ia menyoroti tantangan utama dalam proses seleksi naskah yaitu kecenderungan penulis menggunakan bahasa dan perspektif orang dewasa dalam cerita anak-anak.

“Akibatnya banyak cerita yang lebih mencerminkan sudut pandang penulis daripada persoalan anak-anak itu sendiri,” ujarnya mengakhiri.(*)