Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Sungai yang Mengalir dan Taman dalam Ingatan: Algoritma Puitis Isbedy Stiawan

February 27, 2025 07:23
IMG_20250227_072213

Oleh: Heri Wardoyo
(Ketua Satupena Lampung)

HATIPENA.COM – Ada jejak emosi sekaligus sejumput “jiwa” dalam sekuntum puisi. Dalam laboratorium tak kasatmata yang kita sebut “pikiran”, triliunan sinapsis menyala seperti ledakan kunang-kunang di kegelapan, merajut pola dari kekacauan. Sebuah keteraturan dalam chaostic.

Isbedy Stiawan—dengan 55 bukunya yang telah diterbitkan selama ini—jelas empu yang mudah saja baginya menemukan formula mengubah letupan ide menjadi metafora yang nikmat, juga hikmat.

Otak Bekerja Secara Kreatif
Kreativitas seorang penyair sesungguhnya adalah tarian antara pikiran, vision, dan kontrol kognitif. Ketika penyair memandang sungai, otak seorang penyair tidak hanya merekamnya sebagai aliran air, melainkan memicu “badai asosiasi”: sungai menjadi garis waktu, luka yang mengalir, atau cinta yang tak pernah beku.

Di sini, proses ini bekerja seperti penyuling, mengubah persepsi mentah menjadi simbol.

Beberapa penyair terkenal juga terilhami sungai sebagai metafora ekspresi.

  • William Wordsworth menggambarkan sungai sebagai refleksi perasaan dan kehidupan yang tenang.
  • Robert Frost dalam puisinya “West-Running Brook” menggunakan sungai untuk simbol jalannya kehidupan dan perubahan yang terus terjadi.
  • Emily Dickinson mendeskripsikan sungai sebagai jembatan antara kehidupan dan kematian.

Taman sebagai Simbol dan Ruang Ingatan
Taman, dalam konteks ini, jadi ruang di mana 1001 pengalaman baru dituai dan tumbuh lagi. Setiap pengalaman—seperti bunga yang disemai—membentuk ingatan baru. Pablo Neruda menulis: “Bunga-bunga tumbuh dari luka yang kita siram diam-diam.” Proses ini serupa dengan bagaimana ingatan emosional disimpan dan diolah menjadi simbol-simbol puitis.

Penyair lainnya yang mengutamakan taman sebagai simbol dalam puisinya antara lain:

  • T.S. Eliot, dalam “Burnt Norton”, memakai taman sebagai ekspresi waktu yang berlalu sekaligus idiom keabadian.
  • Rainer Maria Rilke senang mengangkat tema taman sebagai ruang refleksi dan spiritualitas.
  • Seamus Heaney mengelaborasi taman sebagai wilayah kenangan masa kecil dan refleksi diri bertemu.

Pengalaman dan Disiplin Menulis
Pengalaman bertahun-tahun juga membentuk jiwa seorang penyair. Setiap kali penyair menulis, kepekaannya semakin tajam—mirip sungai mengukir lembah—mempercepat transmisi ide dan perasaan. Langston Hughes, penyair Harlem yang memitoskan Sungai Mississippi sebagai saksi perbudakan, menunjukkan bagaimana konsisten menulis, dengan penuh disiplin, mampu mengkristalkan kepekaan menjadi kata-kata yang tajam.

Puisi sebagai Algoritma Puitis
Buku “Satu Ciuman, Dua Pelukan” adalah puncak mutakhir dari proses kreatif Isbedy Stiawan. Di sini, sungai bukan sekadar metafora, melainkan algoritma: aliran emosi ketika jatuh cinta, percikan permenungan saat merasakan (atau merayakan) sesuatu, dan epifani pada detik awal inspirasi tiba. Taman-tamannya merupakan ruang ingatan yang dihuni oleh segala yang pernah disentuh, dicium, juga dirindukan. Seperti kata Neruda: “Cinta begitu pendek, lupa begitu panjang” — sungguh frasa yang lahir dari kedalaman emosi dan refleksi.

Utang Rasa
Menulis puisi sejatinya sebentuk upaya mengubah kekacauan pikiran menjadi keindahan yang teratur. Otak manusia—dengan segala kompleksitasnya—adalah sungai yang tak pernah berhenti mencari muara. Isbedy Stiawan telah membuktikan: di setiap belokan sungai, di sudut tersembunyi sepotong taman, selalu ada puisi yang menunggu dipetik—kemudian ditancapkan kembali sebagai benih inspirasi bagi generasi mendatang. Saya, dan segenap pembaca karya Isbedy Stiawan, pasti “berutang rasa”. (*)

Bandar Lampung, 24 Februari 2025