Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Efisiensi: Antara Pengurangan dan Realokasi

February 27, 2025 18:16
IMG-20250227-WA0136

Ilustrasi : Meta AI/ Rizal Pandiya
Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya

HATIPENA.COM – Di sebuah dunia yang dihuni oleh para teknokrat dan birokrat, efisiensi adalah mantra suci.

Mereka duduk di ruang rapat yang sejuk, merancang strategi dengan tabel dan angka-angka yang begitu rapi. Setiap angka mewakili sesuatu—sebuah proyek, sebuah janji yang pernah diucapkan dalam pidato.

“Ini efisiensi,” kata seorang pejabat dengan nada meyakinkan. “Kita menghemat biaya, mengurangi beban, dan memastikan sumber daya digunakan dengan sebaik-baiknya.”

Namun, di balik kata-kata itu, ada sesuatu yang samar. Jika benar efisiensi berarti mengoptimalkan yang ada, mengapa ada yang dihilangkan? Jika efisiensi adalah meningkatkan hasil dengan sumber daya yang lebih sedikit, mengapa hasilnya justru berkurang?

Mereka menyisir anggaran dengan teliti, mencari yang dianggap “pemborosan.” Anggaran perjalanan dipotong, subsidi dikurangi, anggaran yang dinilai tak penting dihapus. Tapi anehnya, uang itu tidak menguap. Ia berpindah tempat, mengalir ke lembaga baru yang dianggap lebih penting dan menguntungkan.

Maka, lahirlah sebuah dunia paradoks. Di satu sisi, efisiensi dijunjung tinggi—seolah menjadi kunci kemajuan. Namun, di sisi lain, efisiensi itu hanyalah nama lain dari pengurangan.

Jika pemotongan anggaran benar-benar sebuah efisiensi, mengapa ada yang kehilangan? Mengapa ada program yang terhenti? Mengapa masyarakat merasakan dampaknya sebagai kekurangan, bukan sebagai optimalisasi?

Paradoks ini makin nyata ketika hasil dari pengurangan tersebut dialokasikan ulang. Tidak lagi disebut sebagai pengurangan, tetapi sebagai realokasi. Kata-kata dipilih dengan hati-hati, seolah-olah realokasi adalah tindakan yang lebih mulia daripada sekadar pemotongan.

Lalu, di manakah batas antara efisiensi dan pengurangan? Apakah semua yang disebut efisiensi benar-benar tentang optimalisasi, atau hanya permainan kata-kata agar pengurangan tidak terasa seperti kehilangan?

Di dunia paradoks ini, efisiensi bukan lagi tentang memaksimalkan yang ada. Ia menjadi alat untuk menyusun ulang kepentingan, di mana sesuatu yang dianggap “berlebihan” akan diambil dan dialihkan ke tempat lain.

Namun, jika yang diambil sebenarnya adalah sesuatu yang esensial, masih pantaskah disebut efisiensi? Atau ia hanya menyembunyikan kenyataan bahwa di balik angka-angka itu, ada yang dikorbankan, ada yang dipindahkan, ada yang hilang? (*)

Denpasar, 25 – 2 – 25