Ilustrasi : Meta AI/ Rizal Pandiya
Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya
HATIPENA.COM – Om Swasti Astu, lalu ditutup Om Santi, Santi, Santi Om. Semoga damai di hati, damai di dunia dan damai selalu. Ini bukan kata mutiara, tapi salam masyarakat Bali ketika berpidato atau memulai percakapan pada diskusi-diskusi. Salam ini juga doa yang selalu memohonkan damai, damai dan damai.
Damai yang selama ini menjadi identitas pulau itu, mendadak diguncang oleh serangkaian pembunuhan yang terjadi belakangan ini, pembunuhan yang nyaris berturut-turut.
Minggu, 23 Februari 2025, di Kori Nuansa Barat III Jimbaran, seorang ibu berusia 57 tahun ditemukan tewas di rumahnya. Putri tunggalnya yang berusia 25 tahun tergeletak dalam luka parah.
Polisi masih mencari jawaban, apakah ini percobaan perampokan atau ada rahasia gelap yang membayanginya? Kuat dugaan keluarga naas itu dirampok.
Sehari sebelumnya, sesosok tubuh pria berinisial SU (67) asal Banyuwangi ditemukan tak bernyawa di semak-semak jalan Pura Demak V, Denpasar Barat. Wajahnya dipenuhi luka-luka, saksi bisu sebuah kekerasan yang semakin mengakar.
Beberapa hari sebelumnya, Bali dikagetkan oleh pembunuhan sadis di Jalan Nangka Utara, Denpasar. Kadek Parwata, seorang warga lokal, meregang nyawa di tangan Bastomi Prasetiawan. Pembunuh yang sempat melarikan diri itu akhirnya ditangkap di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya.
Jauh hari pada November 2024 tragedi di Taman Pancing, Denpasar. Agus Sugianto (31) mengakhiri hidup Komang Agus Asmara (25) hanya karena gara-gara sengketa judi slot online.
Entah kebetulan atau ada andilnya, rangkaian pembunuhan itu melibatkan pihak luar yang bukan orang Bali. Saya kira ini bukan sekadar catatan kematian atau berita pembunuhan biasa. Serangkaian peristiwa ini meneguhkan pertanyaan besar: ada apa dengan ombak dan angin pantai di pulau nan indah ini? Ada apa dengan Bali belakangan ini? Apakah pulau ini masih seteduh dahulu?
Ataukah ada tangan-tangan laij yang tak terlihat mulai merenggut ketenangan dan kedamaian masyarakat Bali yang selama ini menjadi identitasnya?
Tak hanya pembunuhan, serentetan aksi kriminal lain menggema. Ada jambret, maling, ada penipuan, ada perkelahian, bahkan Satpam yang merupakan satuan pengamanan justru terlibat perkelahian dengan wisatawan yang notabene membawa dollar ke Bali.
Belum ada berita penemuan mayat di sebuah bendungan, lalu di semak-semak di wilayah Sidakarya menyimpan kisah lain, seorang bayi malang dibuang begitu saja lengkap bersama ari-arinya. Beruntung si jabang bayi masih hidup dan sehat.
Kasus-kasus itu menyiratkan bahwa sesuatu telah terjadi di tanah para dewata ini. Sesuatu yang sangat paradoks dengan doa keseharian masyarakat bali yang tak pernah bosan melantunkan kedamaian. Harus ada solusi konkrit yang dilaksanakan oleh seluruh masyarakat Bali agar peristiwa ini tak terulang.
Jangan biarkan Bali berada di persimpangan. Jika dibiarkan, pulau ini bisa kehilangan pesonanya dan berubah menjadi ketakutan yang pada akhirnya menjauhkan Bali dari para pelancong. Ini sangat berbahaya.
Maka, inilah waktu tepat untuk bertindak. Politik demografi bisa jadi solusi. Desa adat harus peduli dengan penduduknya. Sebagai benteng terakhir Bali, Desa Adat harus lebih selektif dalam menerima penduduk pendatang.
Sudah selayaknya memberlakukan ketentuan khusus bahwa mereka yang ingin mengadu nasib di Bali harus memiliki penjamin, harus ada seseorang yang siap bertanggung jawab atas segala tingkah lakunya.
Jika perlu, sistem deposit harus diterapkan agar tak ada alasan bagi pendatang untuk berbuat nekat. Sebab Bali itu spesial, jika di desa itu terjadi pembunuhan, maka pihak desa akan melakukan pecaruan, lalu siapa yang menanggung upacara itu jika pelakunya lari dan tak diketahui?
Bali, yang dahulu identik dengan ketenangan dan kedamaian sungguh telah terusik, Bali berhadapan dengan wajah baru yang tak terduga. Sebuah paradoks yang mengancam eksistensinya. Apakah tetap menjadi surga dunia, atau tenggelam dalam kekacauan yang tak kunjung reda. Pilihan ada pada kita semua; masyarakat Bali.(*)
Denpasar, 24 Februari 2025