Ilustrasi : AI/ Wak Rojam
Penulis : Rosadi Jamani *)
HATIPENA.COM – “Auk ah gelap,” ungkapan ini pernah tenar di Jakarta dulu. Sekarang, Indonesia Gelap, Ekonomi 2030 Gelap. Fokus pada kata gelap. Kebetulan lagi ngopi gelap ni, yok kita kupas apa sebenarnya gelap itu?
Gelap. Kata ini belakangan semakin seksi digunakan. Dari warung kopi hingga seminar akademik. Ada yang bilang Indonesia Gelap. Ada pula yang meramalkan ekonomi 2030 gelap. Semua ini menimbulkan satu pertanyaan mendasar, apakah gelap itu sekadar fenomena fisik atau sudah menjelma jadi filosofi hidup?
Dalam kajian kosmologi, ternyata gelap adalah mayoritas! Alam semesta ini 95 persen terdiri dari materi gelap dan energi gelap. Mata kita cuma bisa menangkap 5 persen realitas terang yang ada. Artinya, manusia itu hidup dalam tipuan optik permanen! Jangan-jangan, selama ini kita terlalu sombong merasa “menguasai” dunia. Padahal, hanya bisa melihat sebagian kecil realitas. “Uang 579,15 miliar terlihat karena di tempat terang. Coba, kalau yang gelap, bisa lebih banyak lagi.”
Saat malam tiba, manusia langsung panik. “Wah, gelap!” Listrik menyala, senter dinyalakan, lilin dinyalakan. Padahal alam ini sejak awal memang gelap. Berbeda dengan binatang, mereka santai saja. Kucing tetap bisa melihat, burung hantu tetap bisa berburu, dan cicak tetap bisa memanjat dinding kamar kos tanpa masalah. Kalau begitu, mungkin kita harus bertanya, siapa sebenarnya makhluk yang lebih superior?
Para analis sering meramalkan bahwa ekonomi tahun sekian akan “gelap”. Kenapa tidak ada yang bilang “ekonomi akan terang benderang seperti stadion di final Red Sparks vs Pink Spider”? Ini bukan karena pesimis, tapi karena ekonomi seperti malam, gelapnya sudah diatur siklusnya. Hari ini mungkin gelap, tapi besok matahari terbit lagi, meskipun, ya, kadang mendung.
Masalahnya, kalau kita terlalu percaya pada ramalan gelap, kita bisa mengalami efek psikologis bernama self-fulfilling prophecy, ketika semua orang percaya ekonomi bakal gelap, mereka berhenti belanja, bisnis sepi, dan akhirnya… ekonomi benar-benar gelap! Dengan kata lain, gelap itu bisa menjadi konstruksi sosial.
Dalam politik, gelap sering kali bukan masalah alamiah, melainkan dikondisikan. Ketika ada yang berkata, “Indonesia gelap,” kita harus bertanya, gelap bagi siapa? “Jangan-jangan lho yang gelap.” Sebab, dalam sejarah peradaban manusia, ada kelompok yang selalu menikmati cahaya. Sementara sisanya harus meraba-raba dalam kegelapan.
Dalam politik, terang itu dikendalikan. Siapa yang punya akses listrik, informasi, dan pendidikan, Ormas, tambang, hukum, dialah yang mengendalikan cahaya. Selebihnya? Ya, tetap gelap. Kalau ada yang bilang “masa depan gelap,” mungkin itu hanya karena mereka tidak punya saklar.
Mari kita jujur, gelap itu tidak selalu buruk. Kadang, dalam gelap kita bisa lebih berpikir jernih. Banyak filsuf, penyair, dan ilmuwan menemukan inspirasi justru di malam hari. Bahkan Isaac Newton pun menemukan teori gravitasi saat langit lagi gelap-gelapnya, bukan siang bolong di pantai sambil minum es kelapa.
Dari pada takut gelap, mungkin kita harus belajar dari kucing, tenang saja, tetap melangkah, dan kalau perlu, pakai inframerah. Atau lebih sederhana lagi, beli senter! (*)
#camanewak
*) Ketua Satupena Kalbar