Ilustrasi : AI/ Wak Rojam
Penulis : Rosadi Jamani *)
HATIPENA.COM – Langit Sukoharjo mendung. Angin berbisik pilu. Di balik tembok pabrik Sritex, ribuan buruh berdiri bagai patung. Mata mereka kosong. Hati mereka hancur. 6.660 jiwa. 6.660 mimpi. 6.660 harapan yang tiba-tiba direnggut oleh putusan pailit. Pailit. Satu kata yang mengubah hidup mereka menjadi abu.
Prabowo pernah berjanji. Janji penyelamatan. Tapi di mana janji itu kini? Sirna. Hilang ditelan waktu. Buruh-buruh ini hanya bisa menatap masa depan yang suram. Puasa menjelang. Lebaran mendekat. Tapi di mana uang untuk beli beras? Di mana uang untuk baju baru anak-anak? Di mana uang untuk sesuap nasi?
Surat PHK. Kertas itu kini menjadi saksi bisu penderitaan mereka. Tangan-tangan kasar yang dulu memintal benang, kini gemetar mengisi formulir. Formulir yang seolah berkata, “Kalian tak dibutuhkan lagi.” Jaminan Hari Tua (JHT)? Itu harapan terakhir. Tapi berapa lama lagi harus menunggu? Sementara perut lapar tak bisa ditunda.
Gaji? Ah, gaji. Februari lalu telat delapan hari. Delapan hari yang terasa seperti delapan tahun. Cicilan menumpuk. Utang menggunung. Anak-anak menangis minta makan. Istri mengeluh tak punya uang. Lelaki-lelaki ini hanya bisa menunduk. Malu. Marah. Tapi tak bisa berbuat apa-apa.
Di Bekasi dan Pulo Gadung, nasib serupa menimpa buruh PT. Yamaha Musik Indonesia. 1.100 jiwa. 1.100 cerita. Pabrik akan ditutup. Produksi pindah ke China. Ke Jepang. Lalu mereka? Di mana tempat mereka? Di mana masa depan mereka?
“Kami hanya angka,” bisik seorang buruh. Suaranya parau. Matanya basah. “Kami hanya mesin yang bisa diganti kapan saja.”
Mereka bukan mesin. Mereka manusia. Mereka ayah. Ibu. Anak. Mereka punya mimpi. Punya keluarga. Punya hidup yang harus dijalani. Tapi dunia ini kejam. Kapitalisme tak punya hati. Uang lebih berharga dari air mata.
Di sudut pabrik, seorang buruh tua duduk termangu. Rambutnya sudah memutih. Tangannya penuh kapalan. “Umurku tak muda lagi,” gumamnya. “Siapa yang mau terima aku kerja?” Suaranya pecah. Air matanya jatuh.
Mereka bukan sekadar angka. Mereka adalah cerita. Cerita tentang perjuangan. Tentang ketabahan. Tentang air mata yang tak pernah terdengar.
Langit masih mendung. Angin masih berbisik pilu. Di balik tembok pabrik, tangis mereka bergema. Tapi siapa yang mendengar? Siapa yang peduli?
Derita buruh Sritex dan Yamaha adalah derita kita semua. Di bumi perjuangan ini, air mata mereka adalah cermin kegagalan kita. Kegagalan untuk melindungi. Kegagalan untuk peduli. Mereka menangis. Tapi dunia tetap diam.
Hal paling menyedihkan lagi. Di tengah gelombang PHK massal itu, korupsi merajalela. Kerugian negara di tambang timah Rp300 triliun. Pertamina Rp193,7 triliun. Kasus gula impor Rp579,15 miliar. Para koruptornya mulai ditangkapi Kejagung. Rakyat menderita. Para pejabatnya foya-foya dengan uang haram. Wajar apabila tagar #KaburAjaDulu menjadi trending.(*)
#camanewak
Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar