Oleh Rita Mf Jannah
HATIPENA.COM – Kemerdekaan yang sejati lahir dari semangat menolak penindasan dan berani bermimpi untuk hidup yang lebih baik
Perjuangan untuk merdeka adalah narasi universal yang menginspirasi setiap bangsa. Di Indonesia, Serangan Umum 1 Maret 1949 menjadi simbol keberanian dan tekad dalam menghadapi penjajahan Belanda.
Sementara itu, perjuangan Palestina untuk mendapatkan pengakuan hak mereka atas tanah dan kebebasan juga telah berlangsung selama beberapa dekade.
Meskipun konteks dan strategi berbeda, kedua perjuangan ini memiliki akar dalam hasrat mendalam untuk meraih kemerdekaan dan mempertahankan martabat bangsa.
Semangat Perlawanan yang Sama
Di Indonesia, 1 Maret 1949 menunjukkan bahwa rakyat dan TNI bersatu untuk mengembalikan kedaulatan yang sempat direnggut oleh penjajah.
Letkol Soeharto memimpin langsung serangan di jantung kota, dibantu tokoh-tokoh lain seperti Soeharjono, Muwardi, dan pasukan rakyat yang rela mati demi merah putih. Dalam waktu singkat, Belanda kocar-kacir.
Peristiwa itu menggambarkan bahwa kemerdekaan bukan hanya soal membebaskan diri dari cengkraman asing, tetapi juga tentang membangun identitas nasional dan kepercayaan diri.
Demikian pula, bagi banyak rakyat Palestina, perjuangan adalah tentang menolak penindasan dan mendapatkan hak untuk menentukan nasib sendiri.
Mereka melihat kemerdekaan sebagai suatu keharusan untuk hidup bermartabat, meskipun jalan yang ditempuh penuh dengan tantangan dan pengorbanan.
Strategi dan Realitas Politik
Serangan 1 Maret merupakan aksi militer terkoordinasi yang bertujuan menegaskan bahwa Indonesia belum menyerah, meskipun ibu kota sementara telah diduduki.
Strategi ini sukses menciptakan momentum yang mengubah persepsi internasional tentang keberadaan Republik Indonesia.
Di sisi lain, perjuangan Palestina sering kali menghadapi kompleksitas geopolitik yang lebih rumit. Metode yang digunakan—mulai dari protes damai hingga aksi kekerasan—sering kali mendapatkan label negatif oleh sebagian komunitas internasional.
Hamas yang didirikan pada tahun 1987 sebagai tanggapan langsung terhadap pendudukan Israel atas wilayah Palestina. Kondisi penindasan dan kebijakan pendudukan yang berkepanjangan merupakan salah satu faktor utama yang mendorong munculnya gerakan perlawanan tersebut.
Hamas telah secara resmi ditetapkan sebagai organisasi teroris oleh Amerika Serikat, Uni Eropa, Kanada, dan sejumlah negara lainnya karena taktik kekerasan dan penargetan terhadap warga sipil.
Di sisi lain, pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia, pejuang seperti Pangeran Diponegoro dan tokoh lainnya dilabeli sebagai teroris oleh penjajah Belanda, meskipun sekarang mereka dipandang sebagai pahlawan nasional.
Dengan demikian, penyebutan “teroris” memang tidak murni objektif, melainkan dipengaruhi oleh konteks politik, kepentingan, dan narasi yang diinginkan oleh pihak-pihak yang berkuasa.
Namun, di balik itu terdapat narasi bahwa tindakan tersebut adalah upaya terakhir untuk menuntut hak asasi dan kedaulatan.
Kedua konteks ini menggarisbawahi bahwa perjuangan kemerdekaan selalu dipenuhi oleh dilema strategis dan perbedaan interpretasi, di mana tindakan perlawanan sering kali dievaluasi berdasarkan kepentingan politik dan narasi kekuasaan.
Pengaruh Internasional dan Narasi Kedaulatan
Serangan 1 Maret berhasil mengubah dinamika internasional dan membuka jalan menuju perundingan damai yang mengakui kedaulatan Indonesia. Ini menunjukkan bahwa legitimasi perjuangan bisa tumbuh melalui dukungan global.
Sementara itu, perjuangan Palestina juga memiliki simpati dari banyak negara dan masyarakat internasional, meskipun sering terhambat oleh realitas politik regional dan pertentangan kepentingan global.
Perbedaan penilaian internasional ini memperlihatkan bahwa istilah “kemerdekaan” dan “pembebasan” sering kali dikonstruksi ulang sesuai dengan kepentingan politik masing-masing pihak.
Baik Serangan 1 Maret maupun perjuangan Palestina mengandung pesan kuat bahwa kemerdekaan adalah hak asasi yang harus diperjuangkan dengan segala cara.
Meskipun konteks, metode, dan penerimaan internasional berbeda, keduanya mengajarkan bahwa tekad untuk merdeka adalah kekuatan yang tak bisa dipadamkan.
Bagi generasi muda, penting untuk memahami bahwa setiap perjuangan kemerdekaan—apapun bentuknya—adalah pelajaran berharga tentang keberanian, solidaritas, dan keadilan.
Kemerdekaan yang sejati lahir dari semangat menolak penindasan dan berani bermimpi untuk hidup yang lebih baik.(*)