Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Puasa dan Kepemimpinan (Hikmah Perang Raja Thalut Vs Raja Jalut)

March 2, 2025 09:27
IMG-20250302-WA0036

Ilustrasi : Meta AI/ Rizal Pandiya
Oleh: Wawan Susetya *)

HATIPENA.COM – DALAM teori kepemimpinan modern disebutkan bahwa seorang pemimpin harus memiliki beberapa persyaratan, yakni capable, acceptable, credible, loyality dan seterusnya. Bagaimana bisa menjadi pemimpin kalau, misalnya, tidak cakap dan mendapat pengakuan dari yang dipimpin. Hanya, sayangnya, beberapa kriteria di atas masih bisa disiasati atau diambil celah-celahnya, sehingga seseorang yang sebenarnya belum cakap bisa dicakap-cakapkan.

Orang sebenarnya masih belum mendapat pengakuan, toh bisa dibeli pengakuan itu. Orang yang sebenarnya tidak jujur bisa saja disulap seolah-olah kelihatan jujur. Dan, masalah keloyalan itu bisa sangat relatif: artinya orang yang sering datang ke kantor (markas) saja, itu sudah dianggap sebagai pertanda keloyalan.

Apabila ditambah lagi kriteria kepemimpinan di atas, niscaya semakin bertambah pula pengingkaran padanya. Persyaratan kepemimpinan tersebut makin makin menyeramkan ketika di urutan paling atas ada persyaratan bahwa menjadi pemimpin harus beriman dan bertakwa kepada Tuhan.

Begitu sangat tingginya kriteria menjadi pemimpin, maka banyak orang menjadi gamang: apakah saya ini termasuk golongan orang-orang yang benar-benar beriman dan bertakwa kepada Tuhan?! Tentu, kegamangan tersebut mestinya muncul dari orang-orang yang jujur hatinya, sehingga makin banyak orang yang mengaku telah beriman dan bertakwa malah mengisyaratkan kerendahan martabatnya di sisi Allah Swt.

Sebagai bangsa yang didirikan oleh tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan yang berhati bening dan jujur karena sebagian besar dari mereka adalah ulamasudah sewajarnya jika kita menghindarkan dinina-bobokan oleh suatu keadaan yang mencerminkan seolah-olah atau semu.

Dalam lagu Indonesia Raya disebutkan: Bangunlah jiwanya, bagunlah badannya jelas mengisyaratkan bahwa jiwa harus diutamakan atau didahulukan ketimbang pembangunan badan (bersifat jasmaniah saja). Sebagai bangsa yang besar ini, kita harus menghindarkan jiwa kepemimpinan yang kerdis; yakni hanya mengurusi kepentingan pribadi, kelompok dan golongannya saja.

Seorang pemimpin diharapkan mampu menyentuh persoalan grass root (akar rumput). Sebab, rakyat-lah yang selama ini telah memilih dan mengamanatkan kepada para pemimpin itu. Mereka pula yang sebenarnya lebih berhak untuk diperhatikan kesejahteraannya, dijamin keamanannya, kenyamanan lingkungannya dan sebagainya.

Pemimpin dan rakyat, dalam filosofisnya, mana yang lebih tinggi? Pemimpin dipilih oleh rakyat, maka sang pemimpin memimpin rakyat dengan sebaik mungkin. Rakyat yang telah dipimpin oleh pemimpin, jika pimpinannya benar, tidak ada jawaban lain kecuali taat dan patuh pada pemimpin. Maka, pemimpin yang baik adalah kesanggupan sang pemimpin tersebut untuk berani menjadi rakyat; yakni ikut merasakan penderitaan dan beban rakyat, mengerti perasaan mereka, aspirasi, kebutuhan dan terutama mengerti bagaimana cara meningkatkan kesejahteraan lahir dan batinnya.

Sudah semestinya para pemimpin sekarang mulai belajar kembali dari kiprah dan gerakan kepemimpinan para pendahulu. Nampaknya, para pemimpin kita masih dituntut mencari jalan (ber-thariqat) untuk mengenali dan menemukan dirinya sebagai pemimpin.

Sebaliknya, rakyat pun yang kini berposisi sebagai pendudukjuga berusaha untuk menjadi rakyat. Penduduk-penduduk itu sedang merenung, bagaimana sih caranya menjadi rakyat yang baik itu? Jadi, sama! Pemimpin dan rakyat masih dalam proses pencarian: yakni mencari kesejatian atau mencari jati diri mereka masing-masing.

Hikmah Perang Thalut-Jalut
Syahdan, Raja Thalut yang dibantu Daud a.s beserta tentara yang sangat terbatas berencana akan menyerang ke kerajaan Raja Jalutseorang raja berpostur tinggi besar seperti raksasa dan sekaligus lalimyang memiliki jumlah pasukan yang sangat banyak. Hanya bedanya, Raja Thalut dan Daud adalah orang-orang pilihan Tuhan yang berperang melawan kedholiman, sehingga kebersihan hatinya benar-benar teruji.

Meski jumlah tentaranya lebih sedikit, bahkan 1 banding 3 dengan kekuatan lawan, namun kebersihan hati (maknanya keimanan kepada Allah), ternyata berhasil mengalahkan tentara Raja Jalut yang dikenal sangat perkasa itu.

Jumlah tentara Raja Thalut awalnya memang banyak. Namun, di tengah perjalanan yang cukup jauh dengan terik panas, rupanya para tentara Raja Thalut tadi merasa tak tahan dengan godaan sebuah sumber air. Para tentara pun batal puasa-nya karena tak mampu menahan dari dahaganya, sehingga minum secara berlebihan. Padahal, mereka telah diperingatkan oleh Raja Thalut agar para pasukan tidak terlalu berlebihan ketika minum air dari sumber air di padang pasir.

Kenyataannya, mereka banyak yang kurang mempedulikan himbauan Raja Thalut, sehingga banyak di antara tentara tadi yang tak kuat melanjutkan perjalanannya. Akhirnya, tentara Raja Thalut yang masih bertahan tinggal sekitar 300-an orang lebih sedikit, termasuk Daud muda. Sementara, musuh yang akan dihadapinya berjumlah 1000 orang lebih.

Meski dengan kekuatan kecil yang tak berimbang dengan kekuatan lawan, namun karena dibarengi dengan keyakinan terhadap kekuasaan Allah, akhirnya Raja Thalut beserta pasukannya berhasil memenangkan peperangan. Daud muda sendiri malahan berhasil membunuh Raja Jalut dengan alat sederhana; ketepil.

Semua itu mengisyaratkan adanya tanda-tanda kebesaran Allah Swt. Pasca peperangan itu, Raja Thalutyang dikenal sebagai raja bijaksanaakhirnya menyerahkan separuh kerajaannya dan puterinya kepada Daud. Bukan hanya itu, selain mewarisi kerajaan dan mendapatkan puteri Raja Thalut, akhirnya Daud diangkat menjadi utusan-Nya; dengan mendapatkan Kitab Zabur.

Dari kisah perang antara Raja Thalut melawan Raja Jalut di atas dapat dipetik pelajaran yang sangat berharga, yakni kebersihan hati, kecerdasan (akal) dan keberanian. Ketiganya menjadi satu-kesatuan yang tak terpisahkan: kebersihan hati (spiritual), sehat akalnya atau memiliki kecerdasan (intelektual), dan memiliki keberanian atau bagus mentalnya. Dan, itulah kriteria kepemimpinan sejati!

Begitu pula dengan yang dialami Rasulullah beserta kaum Muslim saat Perang Badar; yakni perang antara putih dan hitam sebagaimana firman-Nya (QS Ali Imran : 13): Sesungguhnya telah ada tanda bagi kamu pada dua golongan yang telah bertemu (bertempur). Segolongan berperang di jalan Allah dan (segolongan) yang lain kafir yang dengan mata kepala melihat (seakan-akan) orang-orang muslim dua kali jumlah mereka. Allah menguatkan dengan bantuan-Nya siapa yang dikehendaki-Nya.

Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai mata hati. Kelompok yang satu berperang di jalan Allah (jihad fi sabilillah), sedangkan yang lainnya kafir.

Meski jumlah pasukan Nabi Saw juga tak sebanding dengan kekuatan orang-orang kafir; yakni 1 banding 3, namun sebagaimana ayat di atas Allah memberikan bantuan ribuan malaikat-malaikat-Nya sehingga orang-orang kafir melihat seolah-olah jumlah pasukan kaum muslimin dua kali lipat lebih besar dari pasukan mereka. Selain kalah dalam jumlah, perlengkapan perang kaum muslim juga kurang mencukupi.

Seperti halnya pasukan Raja Thalut yang mundur atau tidak bisa meneruskan perjalanan menuju peperangan, kaum muslimin pun saat itu juga demikian; yakni Banu Salamah dari Suku Khazraj dan Banu Haritsah dari Suku Aus. Meski demikian, Nabi Saw senantiasa memberikan semangat kepada para orang-orang beriman sebagaimana yang diabadikan dalam al-Quran (QS Ali Imran: 124): Apakah tidak cukup bagi kamu Allah membantu kamu dengan tiga ribu malaikat yang diturungkan (dari langit)?

Bukankah tidak sedikit dari kisah peperangan yang akhirnya dimenangkan oleh kelompok yang jumlahnya lebih kecil, karena adanya tawakkal yang besar. Dalam peperangan itu punyang dilakukan kaum muslim sambil berpuasa Ramadhan akhirnya mendapatkan kemenangan yang gemilang sebagaimana yang difirmankan Allah: Sungguh Allah telah menolong kamu dalam peperangan Badar, padahal kamu adalah (ketika itu) orang-orang yang lemah. Karena itu bertakwalah kepada Allah, supaya kamu mensyukuri-Nya. (Surah Ali Imran: 122).

Kriteria Kepemimpinan

Mestinya, begitulah sifat dan watak seorang pemimpinterutama khalifah di muka bumi yakni yang telah mengantongi sifat kepemimpinan dari Raja Thalut atau dari kepemimpinan Muhammad Saw; ketercerahan spiritual, ketercerahan intelektual, dan ketercerahan mental. Dari tiga kriteria kepemimpinan tersebut, produknya pinjam istilah Emha Ainun Nadjib adalah ketercerahan moral.

Sayangnya, ada manusia atau pemimpin yang memperoleh pencerahan intelektual, pengetahuan dan ilmunya mumpuni, gelarnya sampai berderet-deret, aksesnya besar dan luas sebagai pelaku birokrasi sejarah kehidupan modern, maupun sekurang-kurangnya sebagai narasumber pengamatan.

Akan tetapi efektivitas fungsinya bisa mandul, ternyata karena kecerahan intelektualnya tidak didukung oleh kecerahan spiritual dan mental. Pintar, tapi mentalnya bobrok dan spiritualitasnya tak bercakrawala. Sehingga ilmunya berdiri sendiri. Perilakunya, habitatnya, keputusan-keputusan yang dibuatnya, tidak mencerminkan ketinggian dan kecanggihan ilmunya.

Khalayak ramai akhirnya berkesimpulan bahwa semakin banyaknya orang pinter bukan hanya tidak kondusif untuk perbaikan negara dan bangsa, tetapi ada gejala malah memperburuknya. Dengan kata lain: produknya bukan moralitas kehidupan berbangsa yang baik.

Selain itu, ada juga manusia atau pemimpin yang mentalnya bagus, teguh pendirian dan memiliki keberanian kejuangan. Kalau bicara tidak bohong, kalau janji ditepati, kalau dipercaya tidak berkhianat. Tetapi ia juga tidak banyak mampu berbuat apa-apa untuk menyembuhkan keadaan, ternyata sebab pengetahuannya tidak terlalu elementer untuk meladeni kompleksitas keadaan.

Langkahnya keliru-keliru, sering naif, dan pada tingkat ketegasan tertentu ia malah tampak sebagai orang brutal, radikal, fundamentalis, ekstremis justru karena terbiasa berpikir linier dan hitam-putih dalam memahami sesuatu. Keadaan ini tidak ditolong pula oleh potensialitas keterbimbingan spiritual di dalam dirinya. Maka ia juga tidak banyak bisa menolong perbaikan bangsa.

Potensi yang ketiga adalah manusi atau pemimpin yang bisa dijamin kejujuran pribadinya, bisa diandalkan kesalihannya, kekhusyukan hidupnya, intensitas ibadahnya. Tetapi ia tidak bisa banyak berbuat untuk pertarungan-pertarungan sejarah yang luas. Ia seperti seorang eskapis yang duduk bersila dan berdzikir di gua persembuyiannya. Sebab ia tidak memiliki ketercerahan intelektual untuk memahami dunia yang dihadapinya, sehingga tidak pula bisa menerapkan kehebatan mentalitasnya, karena tidak ada agenda untuk menyalurkannya, karena tidak ada agenda untuk menyalurkannya. Hasil akhirnya, ia mandul terhadap perjuangan moral sosial. (Wawan Susetya dkk, Kitab Ketentraman Emha Ainun Nadjib, 2001).

Pemimpin dewasa ini sebagaimana kisah perang Thalut-Jalut di atas sesungguhnya sangat beruntung jika mampu meneladani Raja Thalut dan Nabi Daud; yakni bersih hati, kecerdasan, dan keberanian. Bagaimana mungkin bisa memimpin dengan baik jika sang pemimpin hanya mengandalkan kebersihan hati tanpa kecerdasan dan keberanian?

Apalagi, pemimpin yang hanya berani tampil beda saja tanpa mempertimbangkan kebersihan hati dan kecerdasan. Pemimpin seperti itu pinjam istilah Emha disebut pemimpin sepertiga atau manusia sepertiga. Yang jelas, kita tidak bisa mengharapkan watak kearifan kemanusiaan, kenegarawanan, kematangan sosial, kecerdasan futurologis, serta kepekaan terhadap komprehensif kasih sayang dalam multi dimensi kehidupan berbangsa.
Sayang, kualitas kepemimpinan yang utuh atau komprehensif seperti itu hanya tinggal kenangan saja. (*)

*) Sastrawan-budayawan dan pegiat Satupena Jawa Timur, tinggal di Tulungagung