Ilustrasi: AI/ Wak Rojam
Penulis : Rosadi Jamani *)
HATIPENA.COM – Angin kencang meraung di ketinggian 4.884 meter. Langit muram menggantung, seakan tahu bahwa dua jiwa gagah telah menyerah pada kebisuan gunung. Puncak Carstensz, saksi bisu ratusan petualang, kini kembali menelan korban. Elsa Laksono dan Lilie Wijayanti Poegiono, dua perempuan yang mengabdikan hidup mereka pada mimpi-mimpi di ketinggian, kini terbaring dalam pelukan dingin sang gunung.
Mereka bukan sekadar pendaki. Mereka adalah perempuan yang melawan batas, menerjang badai, mendaki bukan hanya untuk mencapai puncak, tetapi untuk membuktikan bahwa langit pun bisa disentuh. Tapi Carstensz, dengan segala kemegahan dan murkanya, memilih mereka sebagai persembahan.
Pagi itu, 28 Februari 2025, mereka berdiri di puncak. Matahari malu-malu muncul di ufuk timur, menyinari wajah-wajah yang letih namun penuh kemenangan. Elsa dan Lilie saling menatap, berbagi senyum kemenangan. Mereka telah menaklukkan salah satu puncak tertinggi di dunia.
Namun, gunung tak selalu memberi izin untuk pulang. Saat mereka mulai turun, tubuh mereka mulai memberontak. Napas terasa berat, kepala berdenyut hebat, mual mengguncang perut mereka. Gejala Acute Mountain Sickness (AMS) mulai mencengkeram, perlahan tapi pasti.
Langkah mereka melambat. Elsa mulai terhuyung, Lilie berusaha menopangnya. Tapi tubuh Lilie pun tak lebih baik. Udara yang tipis, dingin yang menggigit, dan kelelahan yang tak tertanggungkan mengikis daya tahan mereka.
Di Teras Dua, mereka berhenti. Bukan untuk beristirahat, tapi karena tubuh mereka tak mampu lagi melawan.
Rekan-rekan mereka mencoba segala cara. Mereka berbicara, mengguncang bahu Elsa dan Lilie, memohon agar mereka tetap terjaga. Tapi mata Elsa mulai kehilangan fokus, bibirnya membiru, nafasnya tersengal. Lilie menggenggam tangan Elsa erat, seakan ingin menyalurkan sisa tenaganya.
“Bertahanlah… kita belum pulang,” bisik Lilie, suaranya nyaris tak terdengar.
Tapi Elsa tak lagi menjawab. Nafasnya tersendat, dan dalam hitungan detik, tubuhnya menjadi sunyi.
Lilie menangis. Di tengah badai, di bawah langit kelam, ia mengguncang tubuh Elsa, berharap itu hanya mimpi buruk. Tapi Elsa telah pergi, menyisakan keheningan yang menyesakkan.
Tak lama setelahnya, Lilie pun menyerah. Tangannya yang tadi menggenggam erat, perlahan melemah. Matanya menatap kosong ke langit, seolah ingin menyimpan pemandangan terakhirnya. Dalam hembusan nafas terakhir, ia menyebut nama Elsa, lalu diam untuk selamanya.
Di ketinggian itu, dua tubuh terbujur kaku. Dingin menjalar, menelan mereka dalam pelukan abadi. Rekan-rekan mereka hanya bisa menunduk, menangis tanpa suara.
Proses evakuasi bukanlah hal yang mudah. Cuaca memburuk, angin menggila, seakan gunung enggan melepaskan mereka. Butuh waktu berhari-hari hingga jenazah mereka berhasil diturunkan ke Timika.
Di rumah masing-masing, keluarga menunggu dengan harapan yang tersisa. Namun yang kembali bukanlah Elsa dan Lilie yang penuh tawa, melainkan dua kantung jenazah, dingin dan sunyi. Tangis pecah. Sang ibu jatuh bersimpuh, memeluk peti yang berisi anak yang tak pernah ia bayangkan akan pergi lebih dulu.
Elsa dan Lilie mungkin telah tiada, tapi nama mereka akan terus hidup dalam setiap cerita yang diceritakan. Mereka adalah simbol keberanian, petualang sejati yang mengajarkan bahwa impian layak diperjuangkan, meski kadang harus dibayar dengan nyawa.
Kini, di atas sana, mungkin mereka masih mendaki. Di puncak yang lebih tinggi, di langit yang lebih luas, mereka berlari menembus awan, tertawa tanpa rasa sakit.
Puncak Carstensz mungkin telah merenggut mereka, tapi dunia tak akan pernah melupakan Elsa Laksono dan Lilie Wijayanti Poegiono, pendaki yang tak pernah pulang. (*)
#camanewak
*) Ketua Satupena Kalbar