Ilustrasi : AI/ Wak Rojam
Penulis : Rosadi Jamani *)
HATIPENA.COM – Bulan Ramadan sedang berlangsung. Saya pun merenung. Bukan merenungi dosa-dosa (itu nanti saja), tapi merenungi nasib akun media sosial saya. Berkah Ramadan kali ini bukan berupa amplop tebal, bansos dadakan, atau uang bensin dari entah siapa. Bukan! Berkahnya berupa lonjakan follower yang bikin saya terharu. Dari 20 ribuan jadi 55,8K! Luar biasa, bukan? Hanya bermodal tulisan absurd dan secangkir kopi, saya jadi magnet netizen.
Coba bayangkan, tulisan saya yang berjudul “Mengenal Maestro Korupsi Pertamax Rasa Pertalite” sudah dibaca 2,1 juta kali dan dibagikan 8,2K kali. Sampai saya angkat tangan, menyerah membalas komentar yang datang seperti hujan deras di musim penghujan. Lalu ada juga artikel “Derita Ribuan Buruh Sritex dan Yamaha”, yang dibaca 1,3 juta kali dan dibagikan 2,9K kali. Komentar? Jangan ditanya. Ribuan! Akhirnya, saya hanya bisa membalas dengan emoticon love, bukan karena romantis, tapi karena lelah.
Dua topik yang bikin netizen menyerbu akun saya adalah, korupsi dan PHK. Rupanya, kemarahan netizen lebih besar dari nafsu makan saat buka puasa. Mereka geram melihat megakorupsi Pertamina Rp968,5 triliun, dan sedih melihat 22.639 buruh kehilangan pekerjaan. Bahkan, dua isu ini sempat mengalahkan berita tentang Megawati Hangestri Pertiwi yang cemerlang di Liga Voli Korea. Hebat, bukan?
Tulisan saya tentang korupsi ini seperti sinetron berseri. Kadang saya menulis secara realistis, kadang pakai cerita fiksi. Uniknya, meskipun fiksi, banyak yang komentar, “Ini sih bukan fiksi, tapi realita!” Luar biasa, kan? Realita kita memang sering terasa seperti cerita horor, bedanya tanpa happy ending.
Tapi, ada yang lebih menggembirakan! “Membaca mulai hidup lagi! Banyak yang bilang selama ini malas baca tulisan panjang, tapi entah kenapa, bisa menyelesaikan tulisan saya sampai titik terakhir. Bahkan, ada yang kecanduan, sampai-sampai kalau buka TikTok, yang pertama dicari adalah tulisan saya. Ada menangis tersedu, lapor ke saya, “Bang, saya menangis. Bang tulisan abang mengandung bawang.” Hanya bisa balas, mohon maaf bila sampai mewek.
Ini bukti bahwa di tengah serbuan video pendek yang lebih cepat dari kecepatan cahaya, masih ada harapan untuk literasi. Orang mulai rindu membaca, seperti era 70-an dan 80-an. Apakah ini tanda kebangkitan intelektualisme? Atau hanya efek bosan melihat jogetan tanpa makna? Biarlah waktu yang menjawab.
Namun, dengan naiknya jumlah follower, saya juga mulai merasakan efek samping yang cukup unik. Misalnya, tiba-tiba banyak yang minta saya jadi juru bicara rakyat. Padahal, saya ini cuma tukang nulis, bukan anggota dewan yang bisa mengajukan interpelasi. Ada juga yang berharap saya buka kelas menulis, seolah-olah saya ini guru besar di universitas. Saya? Yang cuma mengandalkan kopi dan inspirasi absurd?
Belum lagi ada yang meminta saya membongkar kasus-kasus besar, seakan-akan saya ini detektif swasta yang punya akses ke dokumen rahasia. Tenang, saya cuma nulis dengan modal bacaan gratisan dan pengamatan dari kejauhan, bukan bagian dari BIN atau CIA.
Tapi, serius, saya merasa senang. Setidaknya, ada yang percaya bahwa tulisan masih bisa menggugah kesadaran. Selama ini, membaca sering dianggap aktivitas yang membosankan. Sekarang, saya melihat tren yang berbeda. Orang mulai menikmati tulisan-tulisan yang kritis, satir, dan penuh sarkasme. Rupanya, semakin absurd keadaan dunia ini, semakin besar selera humor dan kepedulian masyarakat.
Untuk semua netizen yang sudah mem-follow akun saya, terima kasih! Selama saya masih bisa ngopi, selama itu juga saya akan tetap menulis. Jangan berhenti membaca, karena tanpa kalian, tulisan saya hanya akan jadi curhatan di notes HP yang tak terbaca. Semoga tren membaca terus naik, dan semoga kita semua tetap waras di tengah absurditas dunia ini. Salam literasi!
Kalau ada yang mau traktir kopi, silakan. Katanya, tulisan kritis butuh asupan kafein yang cukup. Saya sih setuju! (*)
#camanewak
*) Ketua Satupena Kalbar