Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Murkanya Junda, Dukun Penguasa Jin Laut

March 3, 2025 12:15
IMG-20250303-WA0043

Ilustrasi : Meta AI/ Rizal Pandiya
Oleh Sadri Ondang Jaya

HATIPENA.COM – Di ujung pesisir, ceruk samudera, berdiri sebuah kampung nelayan. Hidup mereka berputar dalam siklus yang sudah digariskan.

Setiap hari, perahu-perahu bercadik meluncur ke lautan. Nelayan menebar jaring, mengayunkan pancing, dan memasang alat tangkap lainnya. Laut adalah sumber kehidupan mereka.

Namun, di balik riak ombak dan desiran angin, ada sesuatu yang tak kasat mata. Sesuatu yang telah lama mengakar dalam kepercayaan nenek moyang. Mereka menyebutnya alimu.

Alimu, bukan sekadar ilmu tentang arah mata angin, perbintangan, hujan, dan arus laut. Alimu juga, mencakup kekuatan untuk menundukkan lautan, mengendalikan angin, bahkan menyentuh batas antara kehidupan dan kematian.

Di antara pemilik alimu, satu nama yang tersohor: Junda. Sebuah nama yang membuat siapa pun gemetar ketakutan.

Junda bukan sosok biasa. Ia bukan sekadar pawang, bukan pula hanya dukun. Ia telah malang melintang menapaki jalan yang samar antara dunia manusia dan dunia yang lain. Penampilannya mencerminkan hidup yang jauh dari cahaya.

Pria berusia setengah abad itu, memiliki postur tubuhnya tinggi kurus. Kemana-kemana pergi, kerap mengena baju dan sal hitam.

Raut wajahnya keriput, berparut seperti kulit kayu lapuk. Paling mengerikan matanya. Merah saga, cekung bak sumur tanpa dasar.

Tak seorang pun yang berani menatapnya lama. Kalau ada yang nekat, dadanya menjadi sesak, seakan jiwanya dihimpit beban tak terlihat.

Orang-orang percaya, Dukun Junda bukan lagi sekadar manusia biasa.

Di malam itu, ketika bulan menggantung di langit seperti mata yang mengawasi. Angin berdesir pelan, membawa bisikan-bisikan yang sukar dimengerti, Junda pergi melaut, menangkap ikan, karena itulah pekerjaannya.

Sesampai di lautan lepas, seperti biasa, ia berdiri di ujung perahu. Bibirnya bergerak, merapal sesuatu yang tak terjamah oleh manusia awam.

Laut bergetar. Ombak yang tadinya tenang mulai berputar dalam pola yang tak lazim. Dari kedalaman yang gelap, sesuatu mulai bergerak.

Sekonyong-konyong, ikan-ikan muncul dalam jumlah banyak. Melompat-lompat seperti dikendalikan oleh kekuatan tak kasat mata.

Temannya sesama nelayan segera menebar jaring. Dalam sekejap, ceruk dan palka biduk mereka sarat. Disesaki ikan jenis aso-aso.

Namun, Junda belum selesai. Ia menggoyangkan kakinya di permukaan air, lalu melafalkan mantra terakhirnya. Seketika itu juga, laut menjadi sunyi. Angin berhenti. Ombak tak lagi bergerak. Ikan yang tadi berseliweran di permukaan laut, mendadak hilang. Lenyap tanpa jejak.

Ketika nelayan lain datang ingin menyebar alat tangkap, yang mereka temui hanyalah kehampaan. Laut seakan-akan telah dikosongkan oleh tangan yang tak terlihat.

“Betul-betul laut ini berada dalam kendali Dukun Junda,” gumam seorang lelaki tua awak perahu Junda dengan serak dan bergetar.

“Barang siapa menentangnya, akan tenggelam dalam murka yang tak terlihat.”ucap nelayan itu lagi dengan kagum.

Meskipun demikian, masih ada warga yang yakin bahwa lautan milik Allah yang dianugerahi pada manusia. Bukan milik Dukun Junda. Allah yang menentukan segalanya.

Warga yang sangat teguh dan yakin pada hal itu dan menolak tunduk pada Dukun Junda, adalah Pawang Rajaya.

“Lautan adalah ciptaan Allah dan hanya kepada-Nya semata manusia menyerahkan diri. Bukan Dukun Junda,” kata Rajaya suatu ketika bukti ia menantang Junda.

Dengan penuh keberanian, Rajaya selalu melaut, kadang rezeki melimpah, kadang sedikit, dan tidak jarang kosong.

Di malam itu. Selesai purnama, Rajaya kembali pergi melaut. Tetapi, entah mengapa, laut tak seperti biasa. Angin berhembus terasa berat, seolah membawa sesuatu yang tak terlihat.

Dari kejauhan, terdengar suara tapi bukan suara ombak, bukan suara angin. Suaranya lebih mirip bisikan yang melengking, seperti ratapan jiwa-jiwa yang terperangkap di kedalaman.

Langit mendadak muram. Awan menggumpal, berputar seumpama pusaran azab. Ombak bangkit membumbung tinggi, badai mengamuk tanpa kendali.

Dari dasar laut yang kelam, tiba-tiba muncul makhluk hitam, lebih besar dari perahu yang ditumpangi Pawang Rajaya.

Pawang Rajaya mengenali makhluk itu, jin menyerupai monster laut yang menjadi budak setia para dukun termasuk Dukun Junda.

Dalam sekejap, perahu Rajaya terangkat ke udara, lalu dihantamkan ke permukaan air. Rajaya dan nelayan yang ikut bersamanya menjerit.

“Wow! Dahsyat. Apa itu,” teriak mereka bersamaan.

Di saat genting itu, Pawang Rajaya tidak menyerah. Dengan hati yang penuh keyakinan pada Allah, ia menadahkan tangan ke langit, “Hasbunallah wanikmal wakil nikmal maula wanikman nasir, “bisiknya dengan penuh kepasrahan pada Allah semata.

Tiba-tiba, ombak mereda. Angin yang tadinya menggila mendadak sunyi.

Nun jauh, di tempat persemedian, Junda duduk diam. Ia tak perlu menggerakkan tangan, hanya mulutnya komat-kamit karena laut telah bekerja untuknya.

Serta merta Dukun Junda mengernyit. Sesuatu yang tak ia duga telah terjadi. Tubuhnya, sempoyongan. “Ada yang melawan,” gumamnya.

Pawang Rajaya kembali ke kampungnya dengan selamat, hanya membawa ikan ala kadarnya.

Semenjak kejadian itu, keyakinan mulai merayap di hati beberapa orang. Mereka sadar, tidak ada kekuatan di bumi maupun di langit yang lebih besar dari kekuatan dan kekuasaan Allah Subhanahu wa Taala.

Orang semakin yakin bahwa ilmu blak magic yang dikuasai Dukun Junda semakin tidak mempan. Telah ada kekuatan yang menghadang.

Namun, bayang-bayang Junda masih menguasai kampung itu. Apalagi orang yang pro dan bersekutu dengan kemusrikan dan tahyul.

Setiap nelayan yang telah dirasuki jiwa seperti ini, saat turun melaut, hati mereka mendua. Ada masih mengharap bantuan Junda, karena takut.

Sebab di kampung itu, ada satu hukum tetap berlaku: Barang siapa menolak tunduk kepada Junda, ia telah memilih jalan keburukan, hidupnya menjadi susah.

Buktinya, akhir-akhir ini beberapa nelayan banyak yang “tasapo” sekembali dari laut. Badannya, demam panas dan mata memerah kosong, linglung, seakan ada sesuatu yang ikut pulang bersama mereka, sesuatu yang tak bisa mereka lepaskan. Bahkan, sering ngoceh sendiri. Kata orang nelayan itu disalap jihin lawik yang dipuja Dukun Junda.

Selain itu dikaitkan pula, dengan bermunculannya banyak populasi ubur-ubur di laut sehingga hasil tangkapan nelayan berkurang. Kampung menjadi “haleon”.

Ini diyakini tetua kampung, pertanda alimu Junda sedang berkelebat. Karena itu, tetua kampung yang pro Dukun Junda berkemauan kuat mengadakan kenduri laut untuk mempersembahkan kepala kerbau dan pulut kuning ke laut sebagai tumbal penyerahan kepada jihin lawik.

Bagi mereka yang telah menemukan cahaya kebenaran, tidak setuju. Semua kejadian selain dari fenomena alam juga atas kehendak Allah.

Kalau pun ada pengaruh jin dan setan, itu karena jin dan setan telah dipuja dan disembah dengan perbuatan sirik dan khurafat.

Untuk mengatasi itu, warga yang kontra Dukun Junda lebih mau menggelar zikir dan membaca ayat-ayat tayiba di masjid. Satu hal yang pasti, pada akhirnya, segala yang gelap akan musnah dalam cahaya. Minadzulumati Ilannur.[*]