Oleh Gunawan Trihantoro
Sekretaris Komunitas Puisi Esai Jawa Tengah
Refleksi Spiritual dan Sosial di Bulan Ramadhan (2)
HATIPENA.COM – Di sudut pasar yang berdebu,
di bawah terik matahari yang membakar siang,
seorang ibu duduk di belakang gerobaknya,
menjajakan pisang goreng, ubi rebus, dan kolak manis
yang belum boleh ia cicipi.
Tangannya cekatan membungkus pesanan,
matanya sesekali menerawang langit.
Bukan mengeluh,
hanya menghitung waktu menuju magrib.
Sebab sejak fajar,
ia hanya ditemani lapar
dan kesabaran yang ia peluk erat.
Di tengah hiruk-pikuk pasar,
ada suara yang mengusik hatinya.
“Bu, nggak capek puasa sambil jualan?”
tanya seorang pembeli, seorang ibu muda
yang berdiri di depan gerobaknya.
Ia tersenyum,
wajahnya penuh ketenangan.
“Capek, Nak, tapi rezeki tetap harus dicari.
Allah pasti tahu beratnya perjuangan ini.”
Ia kembali melayani pelanggan,
menyeka keringat yang bercampur debu,
dan menahan diri untuk tidak menyerah.
Karena baginya, puasa bukan sekadar menahan lapar,
tetapi juga menahan keluh kesah.
Di rumah, anak-anak menunggunya pulang,
menanti dengan piring kosong dan gelas yang masih bersih.
Mereka tahu, ibunya selalu pulang membawa takjil sederhana,
dan wajah yang tetap teduh meski seharian dihantam panas.
Ketika akhirnya adzan magrib berkumandang,
ia meneguk segelas air dengan doa yang bergetar.
“Ya Allah, terima kasih, hari ini Kau beri aku kekuatan.”
Di luar, pasar mulai sepi,
tapi di dalam hatinya, ada yang tetap menyala:
iman yang tak goyah,
sabar yang tak luntur,
dan keyakinan bahwa rezeki selalu datang,
seperti azan yang selalu tiba di penghujung penantian.(*)
Rumah Kayu Cepu, 2 Maret 2025