Bagindo Muhammad Ishak Fahmi
Ciloteh “Catuih Ambuih”
HATIPENA.COM – Tulisan Rizal Tanjung “Oposisi Mungkin Terhormat, Namun Harmoni Lebih Mulia” menggarisbawahi pentingnya keseimbangan dalam demokrasi, bukan sekadar oposisi yang sering kali dipandang sebagai pilar utama dalam sistem politik modern. Jika kita menelaah lebih dalam, filosofi Minangkabau mengajarkan bahwa keseimbangan dalam kehidupan tidak berarti keseragaman, tetapi bagaimana dua kutub yang berbeda dapat saling menopang dan menghasilkan harmoni.
Musyawarah dan mufakat dalam budaya Minangkabau ibarat kutub utara dan selatan, siang dan malam, atau laki-laki dan perempuan—dua hal yang tampak berlawanan, tetapi justru diciptakan untuk saling melengkapi. Perbedaan bukan untuk menciptakan pertentangan yang merusak, melainkan untuk menjaga keseimbangan dan keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat.
Konsep Penyimbang: Saling Mengisi, Bukan Saling Menjatuhkan
Dalam kehidupan sosial Minangkabau, perbedaan bukan berarti permusuhan. Sebaliknya, perbedaan adalah elemen yang memperkaya proses pengambilan keputusan. Seperti yang dikatakan dalam pepatah Minangkabau:
“Barek samo dipikua, ringan samo dijinjiang”
(berat sama dipikul, ringan sama dijinjing),
mengajarkan bahwa dalam menghadapi tantangan dan permasalahan, masyarakat harus bekerja sama dalam semangat kolektif, bukan saling menjatuhkan.
Konsep ini juga tergambar dalam pepatah lain:
“Basilang kayu di tungku, mako nasi ka masak.”
(Kayu yang bersilang di tungku justru membuat api tetap menyala dan nasi bisa matang.)
Dalam konteks demokrasi, perbedaan pendapat, diskusi, dan perdebatan yang sehat bukan untuk menimbulkan konflik atau sekadar membuktikan siapa yang benar dan siapa yang salah. Justru, keberagaman pandangan adalah elemen penting untuk menemukan solusi terbaik bagi kepentingan bersama.
Etimologi dan Makna Oposisi
Secara etimologi, kata “oposisi” berasal dari bahasa Latin oppositio, yang berarti “pertentangan” atau “penentangan.” Dalam konteks politik, oposisi merujuk pada pihak yang berada di luar pemerintahan dan bertugas mengawasi serta mengkritik kebijakan pemerintah. Dalam teori demokrasi Barat, oposisi dianggap sebagai mekanisme check and balance yang penting untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan.
Namun, dalam praktiknya, oposisi sering kali berpotensi menimbulkan polarisasi. Alih-alih menjadi alat kontrol yang konstruktif, oposisi sering berubah menjadi arena pertarungan politik yang bertujuan untuk menjatuhkan lawan. Seperti yang diungkapkan oleh Giovanni Sartori dalam The Theory of Democracy Revisited (1987), oposisi dalam sistem multipartai memang penting sebagai fungsi kontrol, tetapi ketika oposisi hanya berperan untuk menghambat jalannya pemerintahan tanpa menawarkan solusi konkret, ia justru merusak sistem politik itu sendiri.
Inilah yang dikritik oleh Rizal Tanjung: oposisi yang semestinya menjadi pilar demokrasi justru sering kali lebih sibuk melakukan delegitimasi kekuasaan daripada memberikan kontribusi yang konstruktif.
Musyawarah sebagai Fungsi Kontrol dalam Demokrasi
Dalam demokrasi, fungsi kontrol tetap harus ada, tetapi tidak harus selalu berbentuk oposisi yang berseberangan dengan pemerintah. Filosofi Minangkabau mengajarkan bahwa kontrol yang baik dilakukan dalam bingkai musyawarah dan mufakat, bukan melalui konfrontasi yang berpotensi memperparah polarisasi.
Pendekatan ini sejalan dengan gagasan Clifford Geertz dalam studinya tentang pluralisme di Indonesia. Menurut Geertz, budaya politik di Indonesia lebih menekankan pada integrative consensus dibandingkan konfrontasi langsung. Artinya, perbedaan pendapat tetap ada, tetapi dikelola dalam kerangka mencari titik temu yang bermanfaat bagi semua pihak.
Dengan demikian, dalam konteks demokrasi Indonesia, oposisi seharusnya tidak hanya berfungsi sebagai pengkritik, tetapi juga sebagai mitra dalam menjaga keseimbangan kekuasaan. Kritik terhadap pemerintah bukan dilakukan untuk menjatuhkan, tetapi untuk mengingatkan dan memperbaiki kebijakan.
Demokrasi yang Berbasis Harmoni
Menyikapi tulisan Rizal Tanjung, dapat disimpulkan bahwa demokrasi yang sehat bukan hanya soal adanya oposisi, tetapi bagaimana mengelola perbedaan dalam koridor keseimbangan dan harmoni. Oposisi yang hanya bertujuan untuk menentang tanpa memberikan solusi justru akan memperburuk polarisasi sosial.
Sebaliknya, model musyawarah dalam filosofi tigo tungku sajarangan menawarkan pendekatan yang lebih sesuai dengan karakter bangsa Indonesia. Dalam sistem ini, fungsi kontrol tetap ada, tetapi dilakukan dalam kerangka dialog yang produktif, bukan konfrontasi yang destruktif.
Sebagaimana pepatah Minangkabau mengatakan:
“Bulek aia dek pambuluah, bulek kato dek mufakat.”
(Air berbentuk karena bambu, kata menjadi bulat karena mufakat).
Harmoni dalam kehidupan bernegara bukan berarti menghindari perbedaan, tetapi bagaimana mengelola perbedaan tersebut agar menjadi kekuatan yang membangun, bukan sekadar ajang pertentangan yang saling menjatuhkan.(*)
Padang, 2025.