Ilustrasi : Meta AI/ Rizal Pandiya
Penulis : Rizal Tanjung
Kritikan Terhadap Tulisan Oposisi Itu Terhormat
HATIPENA.COM – Tulisan Oposisi Itu Terhormat karya Elza Peldi Taher mencoba mengangkat peran penting oposisi dalam sistem demokrasi sebagai pilar penyeimbang kekuasaan. Penulis menegaskan bahwa oposisi adalah unsur vital dalam menjaga jalannya pemerintahan agar tidak melenceng dari prinsip-prinsip demokrasi. Namun, jika tulisan ini kita pandang dalam perspektif tigo tungku sajarangan, tali tigo sapilin dalam tradisi Minangkabau, narasi yang dibangun tersebut seolah mengabaikan esensi keseimbangan yang menjadi filosofi kehidupan masyarakat Minangkabau, di mana prinsip musyawarah, mufakat, dan harmoni menjadi pondasi dalam menjaga stabilitas sosial.
Tulisan ini perlu dikritik secara mendalam karena mengglorifikasi oposisi sebagai satu-satunya kekuatan penyeimbang tanpa mempertimbangkan bahwa ada model lain dalam sistem sosial yang mampu menjaga keseimbangan tanpa harus menciptakan dikotomi kawan dan lawan. Konsep oposisi dalam demokrasi ala Barat yang menekankan pada kontradiksi, konflik, dan rivalitas, sesungguhnya bukanlah sebuah model ideal yang bisa diterapkan secara mentah-mentah dalam konteks Indonesia, apalagi jika ditarik ke dalam kultur Minangkabau.
Oposisi dalam Demokrasi: Benih Perpecahan yang Dibungkus dengan Narasi Penyeimbang
Gagasan yang diusung dalam tulisan tersebut seakan-akan menjadikan oposisi sebagai instrumen gitar wajib dalam sistem demokrasi. Padahal, jika kita cermati lebih dalam, oposisi dalam sistem politik modern sering kali justru menjadi pemicu fragmentasi sosial. Dalam praktiknya, oposisi kerap menjelma menjadi ruang pertarungan ego, bukan sebagai mekanisme konstruktif dalam memperjuangkan kepentingan rakyat.
Demokrasi yang berbasis oposisi menempatkan masyarakat dalam posisi yang rentan terbelah menjadi dua kutub: pihak yang berkuasa dan pihak yang menentang. Model ini memperkuat konflik horizontal, di mana setiap kebijakan pemerintah dianggap buruk hanya karena datang dari pihak lawan. Kritik yang seharusnya membangun malah menjadi sarana delegitimasi, sehingga melahirkan politik yang penuh dengan intrik, provokasi, dan kebencian.
Bahkan, jika kita menengok sejarah panjang Indonesia, perpecahan sosial yang berakar dari oposisi politik menjadi salah satu sebab utama terhambatnya pembangunan nasional. Sejak era Orde Lama hingga Reformasi, oposisi lebih sering menjadi kendaraan untuk merebut kekuasaan daripada menjadi mitra konstruktif dalam membangun bangsa.
Tigo Tungku Sajarangan, Tali Tigo Sapilin: Model Keseimbangan Sosial Tanpa Oposisi
Dalam tradisi Minangkabau, kehidupan masyarakat diatur dengan prinsip tigo tungku sajarangan, yakni keseimbangan antara tiga kekuatan utama: niniak mamak (pemimpin adat), alim ulama (pemimpin agama), dan cadiak pandai (pemimpin intelektual). Ketiganya bukan berdiri sebagai pihak yang saling bertentangan, melainkan sebagai satu kesatuan yang saling menopang dalam menjaga keseimbangan sosial.
Konsep ini mengajarkan bahwa setiap permasalahan sosial diselesaikan melalui musyawarah dan mufakat, bukan dengan saling menegasikan atau menentang. Kritik terhadap kebijakan atau keputusan bukan dilontarkan dengan semangat perlawanan, tetapi melalui mekanisme dialog dan diskusi dalam bingkai kekeluargaan. Dalam konteks ini, tidak ada ruang bagi oposisi sebagaimana yang dimaksud dalam tulisan Elza Peldi Taher.
Prinsip saciok bak ayam, sadanciang bak basi menegaskan bahwa dinamika sosial harus berjalan secara harmonis, di mana perbedaan pandangan disatukan melalui musyawarah untuk mencapai mufakat. Dalam tradisi ini, masyarakat Minangkabau memahami bahwa kekuasaan bukan untuk diperebutkan, melainkan untuk dimufakati.
Kenapa Indonesia Butuh Model Keseimbangan, Bukan Oposisi?
Tulisan Oposisi Itu Terhormat berangkat dari asumsi bahwa oposisi adalah satu-satunya jalan agar kekuasaan tidak absolut. Asumsi ini menyesatkan karena mengabaikan kemungkinan lain dalam menjaga keseimbangan sosial. Model tigo tungku sajarangan justru menawarkan mekanisme penyeimbang yang jauh lebih efektif tanpa harus menciptakan polarisasi.
Jika demokrasi hanya didasarkan pada oposisi, maka yang terjadi adalah pembelahan sosial yang terus-menerus. Oposisi yang digambarkan sebagai pilar demokrasi sejatinya lebih banyak melahirkan konflik ketimbang solusi. Kita sudah menyaksikan bagaimana polarisasi politik di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir merusak ikatan sosial dan memperkuat politik identitas yang memecah belah bangsa.
Sebaliknya, model tigo tungku sajarangan menempatkan setiap elemen masyarakat dalam posisi yang sama-sama bertanggung jawab untuk menjaga harmoni. Niniak mamak, alim ulama, dan cadiak pandai masing-masing memiliki fungsi kontrol sosial yang saling melengkapi tanpa harus membenturkan kepentingan satu sama lain.
Oposisi dalam Bingkai Demokrasi Pancasila: Mungkinkah?
Indonesia bukan negara yang menganut demokrasi liberal seperti di Barat. Sistem politik kita didasarkan pada Pancasila, yang mengutamakan musyawarah, gotong royong, dan harmoni sosial. Dalam konteks ini, oposisi seharusnya bukan menjadi entitas yang berseberangan, melainkan mitra dalam menjaga keseimbangan.
Jika oposisi dimaknai sebagai fungsi kontrol, maka kontrol itu semestinya tidak berdiri di luar sistem, tetapi menjadi bagian integral dalam mekanisme musyawarah. Fungsi kontrol tersebut bisa dimainkan oleh masyarakat sipil, ormas, lembaga adat, dan para intelektual tanpa harus memosisikan diri sebagai pihak yang berseberangan.
Demokrasi ala Minangkabau lebih menitikberatkan pada konsensus daripada konfrontasi. Filosofi ini yang seharusnya diangkat menjadi model demokrasi Indonesia, bukan model oposisi ala Barat yang justru lebih banyak merusak harmoni sosial.
Kritik Terhadap Narasi Oposisi sebagai Kemuliaan
Narasi yang dibangun dalam tulisan tersebut seolah-olah menempatkan oposisi sebagai jalan satu-satunya dalam menjaga demokrasi. Padahal, keberadaan oposisi justru sering menjadi alat untuk melanggengkan oligarki baru. Banyak oposisi yang hanya lantang bersuara saat di luar kekuasaan, namun bungkam begitu diberi jabatan.
Hal ini sudah terbukti dalam sejarah politik Indonesia, di mana hampir semua partai oposisi akhirnya menjadi bagian dari kekuasaan demi kepentingan pragmatis. Oposisi yang ideal sebagaimana digambarkan dalam tulisan tersebut nyaris tidak pernah benar-benar terwujud di Indonesia.
Kesimpulan: Harmoni di Atas Oposisi
Dalam konteks kebudayaan Indonesia, terutama Minangkabau, sistem oposisi bukanlah model ideal dalam menjaga keseimbangan sosial. Filosofi tigo tungku sajarangan telah membuktikan bahwa harmoni sosial bisa dicapai tanpa harus menciptakan kubu-kubu yang saling bertentangan.
Demokrasi Indonesia seharusnya tidak sekadar meniru model Barat, tetapi mengembangkan model yang sesuai dengan kearifan lokal. Kita tidak butuh oposisi untuk menjaga keseimbangan, tetapi musyawarah, mufakat, dan saling mengingatkan dalam bingkai kekeluargaan.
Sebagaimana kata pepatah Minangkabau:
“Bulek aia dek pambuluah, bulek kato dek mufakat.”
Kehidupan berbangsa dan bernegara yang harmonis bukan dibangun di atas fondasi perlawanan, tetapi di atas kesepakatan bersama yang mengutamakan kepentingan orang banyak.
Penutup: Membumikan Demokrasi ala Minangkabau
Indonesia tidak kekurangan model penyeimbang kekuasaan. Tradisi tigo tungku sajarangan adalah warisan luhur yang menawarkan sistem keseimbangan tanpa harus membelah masyarakat. Saatnya kita kembali pada prinsip-prinsip musyawarah dan mufakat sebagai landasan demokrasi yang berkeadilan, bukan meniru mentah-mentah konsep oposisi yang hanya memperkuat polarisasi sosial.
Oposisi mungkin terhormat, tetapi harmoni jauh lebih mulia.(*)
2025.