Oleh Gunawan Trihantoro
Refleksi Spiritual dan Sosial di Bulan Ramadan (4)
Sepertiga malam telah tiba,
sunyi merayap di sela-sela doa,
di sudut sajadah yang telah lusuh,
seorang ayah dan anak bungsunya bersujud.
Sang ayah, dengan dahi menyentuh bumi,
menahan luka yang tak terlihat,
menyembunyikan getir dalam harapan,
agar rezeki besok lebih lapang.
Di sebelahnya, anak bungsu ikut tenggelam,
dalam doa yang sederhana,
memohon jalan terang bagi ayahnya,
agar bisa menggapai impian kecilnya.
Ia tak pernah meminta lebih,
hanya ingin buku baru untuk belajar,
hanya ingin sepatu tanpa sobekan,
hanya ingin melihat ayahnya tersenyum lebih lama.
Sujud mereka menjadi lantunan sunyi,
menggetarkan langit yang mendengar,
karena di antara kelapangan dan kesempitan,
Allah adalah sebaik-baik penolong.
Dan setelah sujud terakhir itu,
mereka duduk berdua, tangan menengadah,
membiarkan air mata jatuh bersama doa,
memohon rezeki, kesehatan, dan keberkahan.
Lalu ayah membuka mushafnya,
melantunkan ayat demi ayat dengan suara tenang,
anaknya menyimak, lalu bergantian membaca,
hingga azan Subuh menggema di udara.
Dengan hati yang lebih lapang,
mereka berdiri bersisian,
menutup malam dengan sholat berjamaah,
memulai hari dengan cahaya-Nya.
Rumah Kayu Cepu, 4 Maret 2025.
*) Sekretaris Komunitas Puisi Esai Jawa Tengah