lustrasi : Meta AI/ Rizal Pandiya
Oleh : Wahyu Iryana
Di pinggir jalan, ia berdiri
suara serak, gitar tua di tangan
memetik nada-nada kelaparan
di antara klakson dan langkah tergesa
Sore yang meleleh di trotoar kota
langit memerah, suara azan memanggil
di sudut warung, aroma gulai menguap
menggoda perut yang sejak pagi kosong
Ia mendekat ke meja-meja
senyum dipaksakan, lagu dilantunkan
tapi siapa peduli?
sendok-sendok sibuk menari di piring
mulut-mulut mengunyah tanpa jeda
mata-mata tenggelam dalam suapan pertama
Di seberang jalan, layar kaca menyiarkan
iklan sirup merah, kurma yang mengkilat
orang-orang berbuka dengan doa
dengan tawa, dengan remah roti di sudut bibir
sementara ia masih berdiri
menunggu sisa, menunggu iba
Sesekali ada yang melempar koin
bunyi dentingnya sejenak menyaingi adzan
lalu sunyi lagi
lalu suara-suara kembali sibuk
membicarakan harga minyak
membahas politik, membandingkan gaji
seolah lapar hanya milik sebagian orang
Ia beranjak, menyusuri gang
melewati jendela rumah-rumah
mengintip kebahagiaan dari sela tirai
ada anak kecil dengan tangan berlumur cokelat
ada seorang ibu mengunyah pelan, menikmati waktu
sementara ia masih menghitung koin
masih menimbang: es teh atau nasi bungkus?
Di perempatan, lampu merah menyala
motor-motor berdesakan, klakson bertubi
ia berdiri lagi, menyanyikan lagu yang sama
dengan suara yang lebih serak, lebih lelah
sebelum langit menghitam sepenuhnya
sebelum malam menelannya
sebelum lapar jadi nyeri
dan kantuk jadi selimut terakhirnya.(*)
Lampung, 02 Maret 2025.
*) Penyair dari Tanah Parahyangan, Tanah yang Diciptakan Tuhan ketika Tersenyum