Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Senja di Masjid At-Taqwa

March 5, 2025 20:16
IMG_20250305_201348

Oleh: Wahyu Iryana *)

Di serambi masjid itu,
Masjid At- Taqwa Lampung.
Angin selalu datang lebih dulu,
mengusap sajadah yang tak pernah lelah menampung doa.
Aku melihatnya,
sosok yang lebih akrab dengan fajar
daripada dingin ranjang di kamar.

Ia berjalan tanpa suara,
seperti debu yang enggan beranjak dari Al-Qur’an di tangannya.
Orang-orang memanggilnya Imam,
sebab suaranya bisa menggenggam hati,
membawa mereka yang ragu kembali percaya
bahwa Tuhan tidak pernah jauh.

Aku masih menyaksikan Sang Imam KH. Arif Mahya duduk sendiri,
memandang langit dari halaman masjid
seolah sedang membaca pertanda di sela awan.
“Kau tahu,” katanya suatu hari,
“Tidak ada yang lebih sunyi dari hati yang lupa berdoa.”

Aku mengangguk,
tapi dalam diam, aku bertanya:
bagaimana mungkin seorang yang begitu dekat dengan langit
masih bisa merasakan sunyi?

Di pagi buta,
ketika embun masih ragu untuk jatuh,
ia sudah di sana—
duduk dengan kitab-kitab tua,
membaca huruf-huruf yang melampaui waktu.

Dan Kini…
Buya Ahmad Bukhari Muslim,
nama yang mengalir seperti doa,
menjadi sungai yang tak henti membawa ilmu
dari mata air yang tak pernah kering.

Orang-orang datang kepadanya,
bukan sekadar untuk bertanya,
tetapi untuk mendengar
suara yang menenangkan resah.

Katanya, Al Ilmu Nuurrun “Ilmu itu seperti cahaya,
tak akan menerangi hati yang tertutup.”
Maka ia membuka hati-hati yang kering,
menyiraminya dengan hikmah,
hingga tumbuh menjadi keyakinan

Senja di masjid itu selalu datang perlahan,
meninggalkan jejak di jubah putih yang tertiup angin.
Langit berwarna jingga,
seperti tinta yang tumpah dari kisah-kisah lama
yang sering ia ceritakan kepada Jamaah.

Ia tidak pernah tergesa-gesa,
bahkan ketika waktu berlari di depannya.
“Kebenaran akan menemukan jalannya sendiri,” katanya.
Maka ia berjalan tenang,
tak pernah khawatir akan kehilangan sesuatu
karena ia tahu, Tuhan menyimpan segalanya.

Di sudut masjid,
ada sepasang sandal yang selalu menunggu,
seperti doa-doa yang belum sempat dikabulkan.
Mungkin besok,
atau lusa,
tapi tak ada yang benar-benar hilang
di hadapan-Nya. (*)

Di saat Ramadhan tiba, dan kita benar benar terjaga.

Bandarlampung, 3 Maret 2025.

*) Penyair dari Tanah yang Diciptakan Tuhan ketika Tersenyum.