Cerpen Rizal Tanjung
HATIPENA.COM – Di sebuah negeri yang tanahnya begitu subur, airnya begitu jernih, dan langitnya selalu biru — negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi — tinggallah sekelompok manusia yang senantiasa mengeluh sambil menimbun harta. Negeri ini bernama Inkopura.
Di tengah hiruk pikuk gedung-gedung pencakar langit yang dibangun dari pajak rakyat, ada sebuah ruangan di gedung parlemen yang jarang diketahui. Ruangan itu kecil, pengap, penuh asap rokok, dan diisi meja bundar kayu jati yang sudah mulai lapuk dimakan rayap — mungkin karena terlalu lama menunggu keadilan yang tak kunjung tiba.
Malam itu, di meja bundar tersebut, duduklah para filsuf dunia yang diundang entah oleh siapa. Mereka hadir sebagai saksi, sebagai hakim, atau mungkin hanya sebagai penghibur bagi negeri yang sudah terlalu lama sakit.
Sokrates menyesap kopi pahit di hadapannya, sambil menatap wajah-wajah pejabat yang terlukis di poster di dinding.
“Kebenaran… adalah sesuatu yang harus dicari, bukan dijual dalam proyek pengadaan barang dan jasa.”
Karl Marx mengangguk sambil mengetuk-ngetuk meja.
“Di negeri ini, korupsi adalah agama baru. Mereka tidak hanya mencuri roti, tapi juga mencuri mimpi kaum proletar.”
Friedrich Nietzsche tersenyum sinis.
“Apa yang kau harapkan dari manusia-manusia yang hanya memikirkan perutnya sendiri? Tuhan sudah mati di negeri ini, kawan. Yang mereka sembah sekarang adalah rekening bank di Swiss.”
Di pojokan ruangan, Ibn Khaldun memperbaiki sorbannya sambil menatap sebatang rokok yang sudah tinggal separuh.
“Aku pernah menulis… bahwa kehancuran sebuah bangsa dimulai ketika para pemimpinnya lebih sibuk menimbun harta daripada memikirkan rakyat.”
Jean-Jacques Rousseau memotong.
“Demokrasi di sini hanya nama kosong! Kontrak sosial telah mereka sobek, mereka gantikan dengan kontrak proyek.”
Niccolò Machiavelli justru tersenyum puas.
“Aku tak melihat ada yang salah di sini… Bukankah kekuasaan memang seharusnya dimenangkan oleh mereka yang paling licik? Yang naif hanyalah rakyat yang percaya bahwa moralitas bisa hidup di istana kekuasaan.”
Di sudut meja, seorang pemuda bernama Tan Malaka tertawa getir sambil meneguk kopi hitamnya.
“Dulu aku pikir revolusi akan membebaskan negeri ini… Ternyata revolusi hanya mengganti topeng, bukan mengganti sistem.”
Percakapan itu terus mengalir di antara asap rokok dan gelas-gelas kopi yang tak pernah kosong. Sementara di luar sana, suara klakson mobil pejabat meraung-raung di jalanan macet. Gedung-gedung pencakar langit terus bertumbuh, sementara rumah-rumah rakyat miskin makin rapuh.
Sokrates menatap ke luar jendela.
“Di negeri ini, kejujuran adalah kebodohan… dan kebodohan adalah tiket untuk naik jabatan.”
Karl Marx menambahkan.
“Di negara kapitalis, korupsi adalah penyakit… tapi di negara setengah kapitalis setengah feodal macam ini, korupsi adalah tradisi.”
Nietzsche terkekeh.
“Aku tak tahu apakah Tuhan masih hidup di negeri ini, tapi yang pasti… Setan sedang menikmati makan malamnya.”
Tiba-tiba, pintu ruangan terbuka. Masuklah seorang lelaki tua dengan jas mahal dan jam tangan Rolex yang berkilau. Wajahnya familiar — wajah yang sering muncul di televisi sambil berbicara tentang “komitmen memberantas korupsi.”
Dia duduk di kursi paling empuk, lalu melipat tangan di atas meja.
Machiavelli menyeringai.
“Ah, inilah dia… manusia paling cerdas di negeri ini.”
Lelaki itu hanya tersenyum.
Sokrates menatapnya tajam.
“Apa yang kau cari, wahai manusia?”
Lelaki itu menjawab santai.
“Aku hanya mencari kesejahteraan rakyat…”
Semua filsuf tertawa terbahak-bahak. Bahkan Diogenes yang duduk di sudut sambil menggenggam lentera kecil ikut terkekeh.
Marx mendekatkan wajahnya.
“Kau mencari kesejahteraan rakyat di mana? Di rekening offshore? Atau di koper-koper dolar yang kau sembunyikan di balik lemari?”
Lelaki itu hanya tersenyum.
Nietzsche menyipitkan mata.
“Aku selalu percaya bahwa manusia hanya mengejar kehendak untuk berkuasa… Tapi kau bahkan tidak punya kehendak. Kau hanya pengecut yang takut kehilangan apa yang tidak pernah menjadi milikmu.”
Malam semakin larut. Diskusi semakin panas. Tapi lelaki itu tetap tersenyum, seolah-olah semua hinaan adalah pujian baginya.
Akhirnya Sokrates mendekat dan berbisik pelan.
“Seandainya dunia ini terbuat dari emas, maka manusia akan mau mati buat sekeping kotoran…”
Lelaki itu tertawa kecil.
“Dan di negeri ini, aku adalah penjual kotoran paling laris.”
Esok paginya, ruangan itu kosong. Para filsuf telah kembali ke makam masing-masing. Hanya lelaki itu yang masih hidup — beserta kuasa dan harta yang tak pernah kenyang.
Rakyat tetap sibuk dengan urusan perut.
Berita korupsi masih menghiasi layar televisi.(*)
Tamat
2025