Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
HATIPENA.COM – Pagi yang indah di Kota Daejeon. Mak Leha pukul 04.00 sudah bangun. Ia salat subuh sendirian, lalu mandi, dan berkemas. Ia menyiapkan minyak urut khas Borneo yang nanti untuk mengurut Vanja Bukilic dan Park Eunjin yang masih keseleo di pergelangan kaki.
Mega datang menghampiri kamar Mak Leha. Ia membawakan Mak Leha sarapan halal, berupa kimbab, kimchi-jeon, buah pir dan pisang serta dalgona coffee. Awalnya Mak Leha merasa agak asing dengan sarapan ini. Ia teringat bubur nasi Sukabumi Baba Azis Jalan Pancasila Pontianak. Ia rindu. Cuma, di Korea tentu tidak ada.
“Usai sarapan, kita pergi menjenguk Mbak Buki dan Eunjin. Keduanya sudah kangen berat sama, Mak,” ujar Mega.
Keduanya bergegas ke rumah sakit Daejeon Eulji University Medical Center. Mak Leha pun bertemu dengan Buki, keduanya saling merindu. Lalu, ia bertemu Park Eunjin yang baru dikenalnya. Karena Mak Leha orang yang ramah, sangat mudah baginya untuk berakrab ria dengan kedua pemain elite Red Sparks itu.
Mak Leha pun mengeluarkan minyak urutnya dari tas kecilnya. Tertulis, minyak urut Dayak, terbuat dari akar kayu khas Borneo. Ramuan ini banyak dicari orang. Buki sudah merasakan khasiatnya. Namun, kali ini ia minta diurut Mak Leha lagi sekaligus karena kangen. Begitu juga Eunjin yang merasakan kakinya yang keseleo menjadi hangat. Ada sesuatu yang menjalar di bagian cederanya. Ia merasa sangat nyaman setelah mendapat olesan ramuan khas Dayak.
Saat sedang mengurut kaki Buki, Mak Leha bertanya, “Buki, apakah benar di Serbia banyak orang yang atheis?”
Buki tersenyum tipis. “Iya, Mak. Di Serbia, banyak orang tidak terlalu memikirkan agama. Menurut survei, sekitar 11% penduduk Serbia mengaku atheis atau agnostik. Tapi, mayoritas penduduknya beragama Kristen Ortodoks. Ada juga Muslim di Sandžak dan daerah lainnya, tapi tidak sebanyak di Indonesia.”
Mak Leha mengangguk, lalu berkata bijak, “Nak, agama itu pegangan hidup. Tanpa agama, manusia bisa kehilangan arah. Lihat saja, dunia ini penuh dengan ketidakpastian. Kita butuh pegangan, sesuatu yang lebih besar dari diri kita untuk menguatkan hati. Percaya kepada Tuhan bukan sekadar ritual, tapi juga tentang bagaimana kita menjalani hidup dengan penuh makna.”
Eunjin yang sejak tadi mendengarkan, tiba-tiba bertanya, “Mak, kenapa di Indonesia banyak wanita memakai hijab?”
Mak Leha tersenyum lembut. “Hijab bukan sekadar kain penutup kepala, Nak. Dalam Islam, hijab adalah simbol kesopanan dan penghormatan terhadap diri sendiri. Secara ilmiah, hijab juga melindungi rambut dari paparan sinar matahari langsung dan polusi. Selain itu, hijab membantu menjaga fokus orang lain untuk melihat pribadi seseorang, bukan hanya penampilannya.”
Eunjin mengangguk-angguk. “Jadi, bukan karena paksaan ya?”
“Tidak, Nak. Islam tidak memaksa, tetapi mengajarkan kebaikan. Yang memilih berhijab melakukannya karena cinta dan keyakinan kepada Allah.”
Di tempat lain, Nohran sedang mengikuti latihan bersama kawan-kawannya. Pelatihnya, Koheenjin, memperhatikannya dengan saksama. Nohran sering melamun, dan itu mulai terlihat dalam permainannya. Ternyata, ia sedang memikirkan pria misterius dari Pontianak itu. Ia bertanya-tanya dalam hatinya, siapakah dia? Kenapa begitu perhatian sampai mengirim kopi liberika segala?
Latihan berakhir, dan Nohran duduk sendirian di bangku samping lapangan. Hatinya terasa aneh, ada sesuatu yang mengganjal. Cinta yang tertinggal di Pontianak itu terus berbisik di benaknya, menuntut jawaban yang belum bisa ia temukan. (bersambung)
#camanewak