HATIPENA.COM – Pengurus Satupena Lampung memilih Motinggo Busye sebagai penulis besar dari Provinsi Lampung. Pemilihan ini dilakukan setelah Ketua Heri Wardoyo, Sekretaris Yusrizal Karana, dan Tito Budi Raharto (wakil sekretaris) bersepakat mengajukan satu nama: Motinggo Busye, Sabtu (8/3/2025).
Ketua Harian Satupena Indonesia Jonminofri Nazir mengatakan, saatnya Satupena menggelorakan nama penulis besar dari provinsi ke tingkat nasional atau dunia.
“Agar karya mereka menginspirasi kita semua,” ujar Jonminofri, sebagaimana tertulis dalam surat edarannya, pada 5 Maret 2025.
Ia menjelaskan, beberapa kriteria pengajuan nama penulis besar, antara lain, karya fiksinya dikenal, diterima, dan dianggap bagus oleh pengurus Satupena di provinsi tersebut.
“Kalau bisa karyanya dikenal atau terkenal sampai seluruh Indonesia.”
Seturut dengan itu, Ketua Satupena Lampung Heri wardoyo mengatakan, Indonesia mengenal Motinggo Busye sebagai penulis cerita yang kuat. Karyanya menegaskan jejak kepiawaian menyusun cerita dan mewarnai multigenerasi.
Diketahui, Motinggo Busye dilahirkan di Kupangteba, Telukbetung, Lampung pada 21 November 1937. Sastrawan yang sangat populer ini, meninggal di Jakarta pada 18 Juni 1999. Selain menulis banyak novel, ia juga menyutradarai film dan melukis. Motinggo banyak meninggalkan “sidik jari” dalam panggung kesenian di republik ini.
Wartawan senior itu mengatakan, naskah dramanya, Malam Jahanam, merupakan salah satu karya yang paling banyak dipentaskan di panggung teater Indonesia sejak pertama kali diterbitkan pada 1958.
Yusrizal Karana menambahkan, Harian Umum Lampung Post, bahkan telah menuliskan nama pengarang ini sebagai salah satu “100 Tokoh Lampung Terkemuka” pada 2008, yang ditulis oleh Heri Wardoyo dan kawan-kawan.
“Barangkali tidak satu pun seniman teater yang dapat membantah kekuatan cerita, watak, tokoh, latar peristiwa, dan sejumlah anasir seni peran lainnya yang terdapat dalam karya Motinggo ini,” ujarnya.
Ia mengatakan, tidak salah bila Departemen P dan K Republik Indonesia mengganjarnya dengan hadiah pertama Sayembara Penulisan Naskah Drama 1958.
Dalam lakon ini pula, katanya, aroma perkampungan nelayan di kawasan Telukbetung bisa dirasakan. Malam Jahanam merupakan potret masyarakat kelas bawah dengan berbagai konflik psikologis dan sosial yang tidak terjebak pada sentimentalitas.
“Dengan piawai Motinggo mengangkat ke permukaan interioritas manusia menjadi cerita yang tidak stereotip, hitam-putih,” pungkasnya. (*)