Oleh Gunawan Trihantoro
Sekretaris Komunitas Puisi Esai Jawa Tengah
Refleksi Spiritual dan Sosial di Bulan Ramadan (10)
HATIPENA.COM – Di sudut pasar yang mulai sepi,
seorang anak lelaki duduk menata dagangan.
Tangannya cekatan, wajahnya penuh harap,
menatap ibunya yang tersenyum dalam lelah.
“Ibu, semoga hari ini jualan kita laris,”
ucapnya lirih, tapi penuh keyakinan.
Sang ibu mengelus kepalanya lembut,
mendoakan rezeki yang tak pernah putus.
Matahari kian redup di ufuk barat,
azan maghrib berkumandang syahdu.
Sang anak menutup lapaknya perlahan,
menghitung receh hasil kerja hari ini.
Mereka pulang dengan langkah ringan,
meski beban hidup tak pernah hilang.
Di rumah kecil yang sunyi itu,
mereka berbuka dengan sepiring harapan.
Setelah makan, sang anak bergegas,
mengenakan baju koko kesayangannya.
“Ibu, aku ke masjid dulu,”
katanya, sembari mencium tangan ibunya.
Di masjid, ia bertemu teman-teman sebaya,
tertawa kecil sebelum tarawih dimulai.
Namun, di antara canda yang menghangatkan,
ada sepasang mata yang menyimpan cerita.
Mata seorang anak yatim yang rindu,
rindu sosok ayah yang kini tiada.
Tapi ia tak boleh larut dalam kesedihan,
karena Ramadhan adalah bulan pengharapan.
Usai tarawih, ia membuka mushaf,
lantunan ayat suci mengalun lembut.
Dari bibirnya yang masih belia,
mengalir doa untuk ayah di surga.
“Ya Allah, jaga ibu seperti Ayah menjaganya dulu,”
bisiknya dalam doa yang khusyuk.
Lalu ia tersenyum, meski air mata jatuh,
karena ia tahu, Allah selalu mendengar.(*)
Rumah Kayu Cepu, 10 Maret 2025.