Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
HATIPENA.COM – Negeri ini memang nggak pernah kehabisan drama. Kalau kehidupan rakyat bisa difilmkan, mungkin udah jadi franchise tersukses di dunia. Bayangin, wak! Ini seperti film Fast & Furious versi ekonomi rakyat. Baru aja kita ngos-ngosan habis drama Pertamax oplosan yang bikin kendaraan batuk-batuk, sekarang muncul sekuelnya, Minyakita, Ketika Satu Liter Itu Hanya Ilusi.
Ceritanya begini. Hari itu, 8 Maret 2025, Menteri Pertanian RI, Andi Amran Sulaiman, turun ke Pasar Jaya Lenteng Agung. Mungkin beliau berharap dapat pemandangan indah, minyak goreng teratur, harga stabil, rakyat tersenyum lega. Tapi nyatanya? Ya Allah, horor banget! Beliau menemukan Minyakita yang di labelnya tertulis “1 liter”, ternyata cuma berisi 750 sampai 800 ml. Kurang hampir seperempat! Itu hilangnya kemana? Diculik tuyul? Diangkut jin botol? Atau ini fenomena baru, minyak menguap karena efek global warming?
Nggak cukup sampai di situ. Harga Minyakita juga bikin rakyat cekikikan sambil nangis. Harusnya dijual Rp 15.700 per liter, tapi kenyataannya? Rp 18.000! Bayangin, kita bukan cuma dikasih minyak oplosan, tapi juga dipalak kayak bayar parkir di mal premium. Udah isinya dikurangi, harganya naik pula! Ini bukan ekonomi, ini eksperimen psikologis. Mereka pengen tahu seberapa jauh rakyat bisa bertahan sebelum akhirnya meledak dan jadi headline berita kriminal.
Tahu nggak apa yang lebih menyakitkan? Reaksi rakyat! Ya, rakyat pasti marah. Tapi sebatas marah virtual. Rame di media sosial. Bikin meme. Nyindir di Tiktok. Tapi besok-besok? Tetap beli juga! Kenapa? Karena kita nggak bisa hidup tanpa gorengan. Bayangkan hidup tanpa tahu isi, bakwan, dan pisang goreng. Itu bukan hidup, itu azab. Kelupaan, tanpa kopi, ups
Pemerintah? Oh, tentu saja ada reaksi resmi. Menteri Pertanian langsung memerintahkan penyelidikan. Satgas Pangan dan Bareskrim Polri langsung dipanggil. Tapi kita tahu lah, ini cuma adegan awal. Nanti ada adegan jumpa pers. Ada pernyataan tegas. “Kami akan tindak tegas!” Tapi ending-nya? Entah bakal jadi plot twist atau cuma jadi cliffhanger buat episode selanjutnya.
Jangan lupa, kita pernah mengalami drama yang mirip. Pertamax oplosan? Iya, ingat kan? Rame di awal, heboh sebentar, lalu hilang ditelan waktu. Kasus kelangkaan LPG 3 kg? Pagar laut, hebohnya bikin nusantara bergetar. Sama juga! Di awal heboh, rakyat ribut, terus… ya udah. Kita jalan terus. Hidup terus berlanjut. Sampai akhirnya kita beradaptasi dengan keadaan yang aneh ini.
Kondisi ini tuh kayak nonton sinetron azab di televisi. Di satu sisi bikin gregetan, di sisi lain kita nggak bisa berhenti nonton. Masalahnya, kita bukan cuma penonton. Kita pemainnya. Kita orang yang beli minyak dengan harga yang makin nggak masuk akal. Kita yang di rumah buka kemasan Minyakita, tuang ke wajan, dan sadar kalau volume minyaknya lebih sedikit dari yang seharusnya. Tapi tetap kita pakai. Tetap kita beli lagi. Karena apa? Karena kita tahu nggak ada pilihan lain.
Ujung-ujungnya, kalau besok harga minyak makin naik atau isinya makin berkurang, kita bakal tetap ngurut dada sambil ngomong, “Ya sudahlah… yang penting masih bisa makan gorengan.” Karena inilah nasib rakyat Indonesia. Di saat harga minyak naik, kita tetap berpegang pada prinsip hidup sederhana, kalau nggak bisa makan enak, minimal bisa makan gorengan.
Sekarang kita cuma bisa menunggu episode selanjutnya dari serial “Ekonomi Rakyat Indonesia.” Kita nggak tahu ini bakal berakhir dengan happy ending atau malah jadi tragedi. Tapi satu hal yang pasti, rakyat bakal terus bertahan, terus beradaptasi, terus mengeluh sambil tetap makan gorengan.
Karena pada akhirnya, kita semua tahu… hidup ini keras, tapi tanpa gorengan, hidup jadi makin keras. Saya berharap, jangan sampai kopi liberika dioplos juga, tak kejar sampai Antarktika orangnya. (*)
#camanewak