Cerpen Mochamad Taufik
HATIPENA.COM – Di sebuah kota kecil, hiduplah seorang anak bernama Rafi, seorang bocah berusia 12 tahun yang gemar membaca. Namun, ada satu kebiasaan buruknya—ia membenci menulis. Baginya, menulis adalah hal yang membosankan dan tidak penting.
Suatu hari, saat istirahat di sekolah, guru mereka, Ustaz Haris, datang dengan membawa sebuah pena tua yang terlihat antik. Anak-anak segera mengelilinginya dengan rasa ingin tahu.
“Anak-anak, siapa yang tahu apa benda ini?” tanya Ustaz Haris sambil mengangkat pena itu.
“Itu hanya pena biasa, Ustaz!” jawab Rafi santai.
Ustaz Haris tersenyum. “Betulkah? Pena ini milik seorang ulama besar yang tulisannya masih dibaca hingga kini. Kalian tahu siapa dia?”
Anak-anak menggeleng.
“Dia adalah Imam Al-Ghazali. Dengan pena ini, ia menulis kitab-kitab yang telah mengubah dunia Islam.”
Mendengar itu, Rafi mulai tertarik. Ia bertanya, “Tapi, Ustaz, bukankah zaman sekarang kita bisa menonton video atau mendengar ceramah? Untuk apa menulis?”
Ustaz Haris tersenyum dan mengeluarkan Al-Qur’an kecil dari sakunya. “Rafi, tahukah kamu, wahyu pertama yang Allah turunkan bukan perintah shalat atau puasa, tapi perintah membaca dan menulis?”
Kemudian, beliau membaca ayat pertama dari Surah Al-‘Alaq:
اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ خَلَقَ الْإِنسَانَ مِنْ عَلَقٍ اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Mulia, yang mengajar (manusia) dengan pena.” (QS. Al-‘Alaq: 1-4).
Rafi terdiam. “Allah sendiri yang mengajarkan manusia dengan pena?”
“Betul sekali, Rafi,” lanjut Ustaz Haris. “Menulis bukan sekadar menggoreskan kata di kertas. Dengan tulisan, ilmu bisa diwariskan, kebaikan bisa disebarluaskan, dan dakwah bisa berjalan tanpa henti. Bahkan, Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Jika seseorang meninggal dunia, maka terputus amalannya kecuali tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakannya.’”
Mendengar itu, Rafi mulai berpikir.
Di rumah, ia membuka lembar kosong di bukunya. Ia menuliskan satu kalimat sederhana:
“Menulis bukan sekadar menulis. Ini adalah jejak yang tak akan mati.”
Hari demi hari, Rafi mulai rajin menulis. Ia menulis kisah para pahlawan Islam, merangkum pelajaran dari ustaznya, bahkan membuat cerita-cerita kecil tentang kebaikan. Suatu hari, tulisannya dimuat di majalah sekolah. Ia merasa bangga dan makin bersemangat.
Lima tahun kemudian, Rafi menjadi seorang penulis muda yang dikenal banyak orang. Ia menulis buku motivasi Islami untuk anak-anak seusianya. Banyak orang membaca dan terinspirasi oleh tulisannya.
Di suatu sore, ia kembali ke sekolah lamanya dan bertemu dengan Ustaz Haris. Dengan penuh haru, ia berkata, “Ustaz, saya baru sadar, pena ini memang tidak pernah mati. Pena ini bisa mengubah dunia.”
Ustaz Haris tersenyum bangga.
“Benar, Rafi. Itulah mengapa Allah bersumpah dalam Al-Qur’an: ‘Nun, demi pena dan apa yang mereka tuliskan.’ (QS. Al-Qalam: 1). Pena akan selalu hidup, selama ada kebaikan yang terus dituliskan.”
Sejak hari itu, Rafi berjanji akan terus menulis. Bukan sekadar menulis, tapi meninggalkan jejak kebaikan yang akan terus mengalir pahalanya, bahkan setelah ia tiada.
Pesan moral:
Bagi kalian, generasi Alpha yang tumbuh di era digital, jangan pernah meremehkan kekuatan tulisan. Pena mungkin kecil, tapi ia mampu mengubah dunia. Tulislah hal-hal baik, sebarkan ilmu, dan tinggalkan jejak yang bermanfaat. Karena menulis bukan sekadar merangkai kata, tapi menciptakan kebaikan yang tak akan pernah mati.(*)