Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Kejahatan yang Luruh Mendengar Lantunan Al-Quran

March 11, 2025 20:06
IMG-20250311-WA0144

Cerpen Sadri Ondang Jaya *)

HATIPENA.COM – Malam telah larut. Angin dingin merayap pelan menyelinap di celah-celah dinding meunasah.

Jalanan di luar sunyi, tak ada suara kendaraan, hanya gemerisik dedaunan yang sesekali bergesekan ditiup angin.

Di dalam meunasah kecil itu, cahaya lampu temaram menyinari wajah-wajah kami yang masih khusyuk bertadarus.

Suara kami bergema, bersahutan, melantunkan ayat-ayat suci dengan penuh ketulusan.

Tadarus di bulan Ramadan sudah menjadi tradisi di kampung kami. Dalam sebulan, kami bisa menamatkan Al-Qur’an tiga hingga empat kali.

Meski tenggorokan terasa kering dan suara mulai serak, tak satu pun dari kami mengeluh. Kami tahu, setiap huruf yang dibaca bernilai pahala, sebagaimana sabda Rasulullah, “Barang siapa membaca satu huruf Al-Qur’an, baginya satu kebaikan, dan satu kebaikan itu berlipat menjadi sepuluh.”

Di antara lantunan ayat-ayat suci itu, aku menangkap sosok asing yang duduk bersila di sudut meunasah.

Seorang lelaki berusia sekitar empat puluhan. Wajahnya tertutup bayangan, hanya sorot matanya yang sayu dan penuh beban. Rambutnya kusut, kumis dan jenggotnya tumbuh liar. Sesekali bibirnya bergetar seolah mengikuti ayat yang kami baca, namun tak satu suara pun keluar.

Aku meliriknya beberapa kali, mencoba mencari jawaban di wajahnya. Siapa dia? Mengapa duduk di situ dengan tatapan kosong?

Tadarus dihentikan sejenak. Yusrizal, pemimpin tadarus kami, memberi aba-aba untuk beristirahat. Kesempatan ini tak kusia-siakan. Kubawa dua cangkir kopi dan beberapa potong kue, lalu melangkah mendekati lelaki itu.

“Assalamu’alaikum.” Aku menyapanya lembut sambil menyodorkan kopi.

Lelaki itu menoleh perlahan. Seulas senyum samar muncul di wajahnya. “Wa’alaikumussalam.” Suaranya serak, seperti seseorang yang lama tak berbicara.

“Boleh saya duduk, Pak?” tanyaku hati-hati.

“Ooh, boleh… silakan, Nak,” jawabnya, terdengar ragu.

Teman-temanku mulai bergabung, duduk melingkar. Ahmad, yang selalu penasaran, lebih dulu membuka percakapan. “Bapak dari jauh, ya?”

Lelaki itu mengangguk pelan. “Dari kota. Sudah tiga malam saya berada di kampung ini.”

Ia menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, seakan menimbang-nimbang kata-kata. “Malam pertama, saya mendengar suara tadarus dari meunasah ini. Hati saya bergetar, tubuh saya menggigil. Malam berikutnya, saya merasakan hal yang sama. Seolah ada yang memanggil saya… maka malam ini, saya memutuskan datang ke sini.”

Kami saling berpandangan. Ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuat kami ingin tahu lebih jauh.

“Pak, kalau boleh tahu, siapa Bapak sebenarnya?” tanyaku hati-hati.

Lelaki itu terdiam sejenak. Matanya menerawang jauh, seperti menggali kenangan yang telah lama terkubur.

“Ceritanya panjang,” katanya lirih. “Tapi kalau kalian ingin mendengar, jadikan ini sebagai pelajaran, bukan untuk ditiru.”

Kami mengangguk. Udara terasa lebih dingin saat ia mulai bercerita.

“Dulu, saya seperti kalian. Waktu kecil, suara saya sering dipuji karena keindahan tilawahnya. Saya pernah menjuarai MTQ, dan sempat menimba ilmu di pesantren. Tapi semua itu berubah ketika keluarga saya pindah ke kota. Saya bertemu lingkungan yang salah, lalu pelan-pelan meninggalkan Al-Qur’an. Shalat mulai bolong, puasa pun saya tinggalkan. Saya hanyut dalam dunia yang gelap.”

Kami menyimak tanpa menyela. Suaranya terdengar makin berat, seakan setiap kata adalah luka yang kembali menganga.

“Saya menjadi perampok, penjahat jalanan. Judi, minuman keras, perempuan, semua saya lakoni. Saya berkali-kali masuk penjara, lalu keluar dan mengulang lagi. Saya tak punya rasa takut, bahkan tak segan-segan menghabisi nyawa orang yang menghalangi saya.”

Aku merasakan bulu kudukku meremang. Teman-temanku juga tampak menegang.

Lelaki itu tertawa kecil, getir. “Kalian takut? Tenang saja, saya tidak akan menyakiti kalian.”

Kami mencoba tersenyum, meski tetap ada sedikit kegugupan.

Lalu, suaranya kembali serius. “Malam ini, sebenarnya saya datang ke kampung ini untuk merampok. Ada satu rumah besar di ujung jalan sana yang sudah saya incar. Tapi sebelum saya bertindak, saya mendengar suara tadarus dari meunasah ini.”

Ia berhenti sejenak. Matanya kini basah, napasnya tersengal. “Hati saya tiba-tiba lemas. Tangan yang sudah siap bertindak terasa berat. Suara tadarus itu seperti suara yang dulu sering saya lantunkan, suara yang pernah membuat saya merasa dekat dengan Allah. Malam ini… saya tersadar. Saya sudah terlalu jauh tersesat.”

Kami semua terdiam. Hanya suara napas kami yang terdengar.

Lalu, dengan suara bergetar, ia berkata, “Malam ini, saya bertobat. Saya ingin kembali ke jalan Allah. Saya ingin kembali membaca Al-Qur’an, seperti dulu. Asyhadu an laa ilaaha illallaah… wa asyhadu anna Muhammadan rasulullah…”

Mata lelaki itu berkaca-kaca. Air mata jatuh membasahi janggutnya yang kusut. Kami ikut larut dalam suasana haru.

Dan malam itu menjadi titik baliknya. Ia kembali membaca Al-Qur’an bersama kami. Awalnya terbata-bata, suaranya kaku seperti anak kecil yang baru belajar. Tapi malam demi malam, bacaannya makin lancar. Ia tak hanya bertadarus, tetapi juga rajin shalat berjamaah, tarawih, dan ibadah-ibadah lainnya.

Pak imam meunasah akhirnya mempercayainya untuk membantu Tgk Bileue Tuha. Lelaki yang dulunya hidup dalam gelap kini menemukan cahaya kembali.

Dan semua itu… berawal dari suara tadarus Al-Quran yang mengetuk hatinya.[*]

*) Pemerhati Dinamika Sosial Budaya