Penulis : Ririe Aiko
HATIPENA.COM – Di dapur, emak berjibaku dengan minyak panas dan santan mendidih. Buka puasa tinggal sebentar lagi, tapi tugas belum kelar: gorengan belum matang, es buah masih polos tanpa sirup, dan entah kenapa nasinya terasa lebih keras dari biasanya, mungkin karena Emak masak sambil emosi, lihat isi dompet yang mulai pergi.
Sambil membolak-balik tahu isi, emak mendengar suara dari televisi. Berita korupsi. Lagi dan Lagi! Kali ini lebih kreatif, katanya, ada grup WhatsApp para koruptor dengan nama “Orang-Orang Senang.”
Sendok sayur hampir terjatuh dari tangan emak.
Orang-orang senang? Ya iyalah senang! Duit korupsi mereka sampai kuadriliun! Kalau emak punya uang segitu, mungkin sudah bisa beli beras tanpa perlu cek harga dulu. Bisa masuk minimarket tanpa takut tiba-tiba ingat saldo tinggal lima ribu. Bisa goreng tempe tanpa hitung-hitungan minyak goreng yang makin mahal.
Di layar televisi, diperlihatkan tangkapan layar percakapan grup itu. Isinya santai, penuh tawa dan gurauan, seolah-olah mereka bukan sedang membahas hasil rampokan, tapi cuma ngobrolin resep masakan atau gosipin tetangga baru.
Emak menghela napas. Kalau emak bikin grup WhatsApp sendiri, mungkin namanya “Orang-Orang Bertahan”, isinya curhat tentang harga cabai yang mendadak merajai pasar, atau strategi ganti isi kaleng Khong Guan dengan rengginang untuk menghemat anggaran lebaran.
Sementara itu, gorengan di wajan mulai menghitam. Emak buru-buru mengangkatnya, tapi sudah telat. Beberapa gosong. Ah, sudahlah. Toh, masih bisa dimakan, meski pahit, tapi ini nggak di masak dari uang haram.
Adzan maghrib berkumandang. Sambil duduk di meja makan, emak menatap hidangan seadanya. Di luar sana, para anggota “Orang-Orang Senang” mungkin juga sedang berbuka dengan piring berbeda, lauk berbeda, dan cara mendapatkan nafkah yang berbeda.
Tapi emak yakin satu hal, makanan yang dimakan dengan jerih payah sendiri, lebih menyehatkan dan memberikan berkah daripada makanan yang didapat dari hasil korupsi.(*)