Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Etika dan Feodalisme

March 12, 2025 05:25
IMG-20250312-WA0015

Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya

HATIPENA.COM – Bali, Pulau Etika. Penduduknya ramah tamah karena memang beretika. Sejak dalam kandungan, lahir dan dibesarkan, orang Bali hidup dalam etika yang begitu tinggi.

Di sini, di pulau ini, etika bukan sekadar aturan sosial, melainkan jiwa yang menghidupkan interaksi antara manusia, alam, dan Tuhan.

Namun, dalam kokohnya etika justru lahir paradoks yang membingungkan: ketika beretika, penghormatan dan tata krama dianggap sebagai feodalisme, padahal sejatinya ia adalah bentuk tertinggi dari kesadaran akan harmoni.

Di Bali, menghormati bukan hanya tradisi, tetapi kewajiban moral yang diwariskan turun-temurun.

Hormat dalam segala bentuknya: tata titi dan sor singgih base dalam ucapan, sikap, tindakan, bahkan hingga aturan dalam menata ruang hidup. Ironinya, nilai-nilai luhur ini tidak selalu dipahami dengan benar.

Misalnya, dalam keseharian, yang lebih muda diwajibkan menghormati mereka yang lebih tua, tidak hanya kepada orangtua kandung, tetapi juga mereka yang umurnya lebih dahulu ada di dunia ini.

“Ooo duuran dia dibandingkan saya,” begitu ungkapan yang sering terdengar. Duuran itu berarti lebih tua.

Ini bukan sekadar basa-basi, tetapi prinsip yang mendasari kehidupan sosial di tengah masyatakat Bali, terlebih keluarga.

Dalam upacara ngaben, aturan ini tetap berlaku: seseorang yang usianya lebih tua tidak boleh menyembah atau “nyumbah” orang yang usianya lebih kecil. Karena itu, orang Bali harus tahu urutan usia dalam keluarganya. Bli, mbok, adi, paman dan seterusnya akrab di dengar di Bali.

Etika juga berlaku dalam hubungan dengan alam. Setiap pekarangan memiliki tata letak yang mencerminkan hierarki kesucian: di hulu atau kaje kangin, selalu ditempatkan yang utama—merajan atau kemulan, tempat suci yang tidak boleh terkena hal-hal yang membuat leteh. Menjemur pakaian di merajan, apalagi pakaian dalam, itu pelanggaran etika. Kepala bisa pusing tiba-tiba jika nyulubin jemuran, maka jemuran tak boleh di sembarang tempat agar tidak disulubin.

Tak hanya itu, pemilihan tanaman pun diatur: tidak boleh menanam pohon bunga di setra, kecuali gumitir, karena ia tidak digunakan dalam upacara suci di pura. Pohon berbuah seperti mangga dan yang lain jarang ditemukan di setra, karena setra dianggap leteh, memakan buahnya juga ikut leteh.

Namun, di tengah penghormatan tinggi terhadap etika, muncul kontradiksi besar: etika ala Bali ini tidak diajarkan secara formal di sekolah-sekolah.

Nilai-nilai luhur yang menjadikan masyarakat Bali ramah tamah, penuh penghargaan terhadap sesama dan lingkungannya, justru tidak mendapat tempat dalam sistem pendidikan kita.

Seharusnya, etika tidak hanya hidup dalam bisik-bisik adat atau diwariskan dalam lingkup keluarga, tetapi juga menjadi mata ajar yang membentuk karakter generasi Bali ke depan.

Di sinilah paradoks itu menemukan bentuknya yang paling nyata: etika yang begitu kuat justru dikira feodalisme, dianggap fanatik, dan di sisi lain, nilai itu sendiri makin kabur dalam sistem pendidikan modern.

Padahal, menghargai yang lebih tua bukanlah tanda ketundukan buta atau merendah, tetapi refleksi dari kesadaran bahwa hidup ini adalah kesinambungan, di mana yang lebih dahulu ada adalah jembatan bagi yang datang kemudian.

Paradoks ini adalah tantangan zaman. Jika etika terus dianggap hanya sebagai warisan adat, bukan sebagai landasan pendidikan, maka perlahan-lahan ia bisa luntur. Ini tak baik buat Bali ke depan.

Pulau Etika ini harus menjaga jati dirinya, bukan hanya dalam laku, tetapi juga dalam kesadaran dan pemahaman yang lebih luas.

Lebih dari sekadar aturan, etika adalah nyawa yang menjadikan Bali tetap Bali.(*)

Denpasar, 12 Maret 2025