Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Gagahlah Seperti Manini, Anakku Butet Siregar

March 12, 2025 14:57
IMG-20250312-WA0109

Oleh: Rizal Tanjung


Esai Melodrama Tentang Ibu dan Anak. Terinspirasi dari tulisan Butet Siregar

HATIPENA.COM – Hujan turun rintik-rintik di malam yang lelah. Angin mendesir pelan, membawa kenangan yang mengendap dalam hati seorang ibu yang tengah mencuci di sudut rumahnya yang sederhana. Tubuhnya yang sedang hamil menggigil sedikit, bukan hanya karena dingin, tapi juga karena lelah yang menumpuk. Sakit di perutnya menyerang tanpa ampun, membuatnya hampir kehilangan keseimbangan.

Lelaki yang menjadi teman hidupnya hanya menoleh sekilas, tak ada raut cemas, tak ada sentuhan penuh kasih. Hanya gumaman singkat, seakan ia sedang menghadapi hal sepele. Lalu ia pergi, meninggalkan sang istri yang berjongkok di depan cucian yang belum selesai.

Di antara tumpukan pakaian basah dan air mata yang jatuh tanpa suara, pikiran sang istri melayang jauh. Mengapa hidupnya kini terasa begitu berat? Ia dulu adalah gadis yang punya mimpi, bercita-cita tinggi, dan ingin mengubah dunia dengan caranya sendiri. Namun, kini ia terjebak dalam realitas yang jauh dari impian.

Tiba-tiba, bayangan seorang wanita hadir dalam benaknya. Ibunya. Seorang perempuan yang tak pernah mengeluh, yang selalu tegak meski hidup menghantamnya bertubi-tubi. Seorang ibu yang pernah menempuh perjalanan panjang dengan lutut yang retak, hanya demi membawa pulang sesuap nasi untuk anak-anaknya.

Ia ingat, betapa sering ibunya menunggunya di depan penerbit, hanya untuk meminta hak yang seharusnya sudah menjadi miliknya. Ia ingat tangan ibunya yang kasar, wajahnya yang lelah, tapi matanya tetap bersinar penuh semangat. Ibunya tidak pernah menyerah.

Ia menyeka air matanya. Tidak, ia tidak boleh lemah. Jika ibunya dulu bisa bertahan, maka ia juga harus bertahan. Ia menatap perutnya, merasakan gerakan kecil bayi yang ada di dalamnya. “Nak, kau harus tumbuh menjadi seseorang yang kuat. Jangan mengulang kesalahan ibumu, tapi belajarlah dari keteguhan nenekmu.”

Dengan sisa tenaga, ia menyelesaikan pekerjaannya. Menjemur pakaian, mencuci piring, merebus air panas untuk menghilangkan sakit kepala yang terus menyiksanya. Dalam keheningan malam, ia bersumpah dalam hati, tidak akan lagi bergantung pada siapapun. Ia akan menjadi perempuan yang mandiri, seperti ibunya dulu.

Karena hidup adalah perjuangan tanpa akhir. Dan ia, seperti ibunya, tidak akan pernah menyerah. (*)

2025