Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Sukatani, Punk, dan Ideologi Perlawanan

March 12, 2025 15:04
IMG-20250312-WA0110

Oleh: Wahyu Iryana
Sejarawan dan Penyair UIN Raden Intan Lampung

HATIPENA.COM – Punk bukan sekadar musik. Ia adalah ideologi perlawanan, madzhab berpikir, manifesto kaum yang bosan dijajah kapitalisme, muak dengan kemunafikan, dan jijik melihat agama dijadikan alat dagang. Dari kanan ke kiri, dari liberal ke konservatif, punk berdiri di luar lingkaran—melawan semua yang menindas.

Punk dan Sejarah Panjang Perlawanan

Jika menengok sejarahnya, punk lahir dari keresahan kelas pekerja di Inggris dan Amerika pada era 1970-an. Ini masa ketika ekonomi mulai dikuasai korporasi besar, dan pekerja kecil semakin tersingkir. Musik punk meledak sebagai suara kemarahan: dari Sex Pistols dengan “Anarchy in the U.K.”, The Clash dengan “London Calling”, hingga Ramones di New York yang memukul keras kebosanan hidup urban.

Di Indonesia, punk pertama kali muncul di era 1990-an. Band seperti Marjinal dan Superman Is Dead (SID) membawa semangat protes melawan ketidakadilan sosial. Punk menjadi lebih dari sekadar genre musik; ia berubah menjadi simbol perjuangan anak-anak jalanan, buruh, dan mereka yang terpinggirkan.

Lalu, muncullah Sukatani—band punk dari kota kecil Purwokerto yang nyaris tak tercatat dalam peta industri musik. Band ini lahir dari keresahan anak-anak petani yang tak lagi punya sawah, Alumnus IAIN Purwokerto Kampus bernafas Islami. Mereka menyuarakan kemarahan atas harga pupuk yang mahal, hasil panen yang dihargai murah, dan tanah yang makin sempit oleh pembangunan.

Ketika Musik Menjadi Ancaman

Suatu hari, Twister Angel yang memiliki nama Asli Novi Citra Indrayanti, vokalis Sukatani, dipecat dari pekerjaannya sebagai guru. Alasannya? “Tidak sesuai dengan norma.” Di negara yang katanya demokratis, keyakinan berbeda masih bisa membuatmu kehilangan pekerjaan.

Tak hanya itu, lagu-lagu Sukatani dianggap mengganggu “ketertiban sosial”. “Bayar! Bayar! Bayar!”, single mereka, diturunkan dari platform musik. Liriknya memang terlalu tajam bagi telinga penguasa: tentang pajak yang mencekik, rakyat yang harus bayar ini-itu, sementara koruptor berpesta. “Kami hanya menulis realita,” kata Novi dalam sebuah wawancara.

Di panggung, ia selalu memakai balaclava, topeng hitam pekerja di Thailand. “Simbol buruh,” katanya. Polisi meminta ia melepas topengnya, minta maaf, dan tak lagi menyanyikan lagu-lagu “provokatif”. Tapi siapa yang mau tunduk, kalau yang menindas semakin kuat?
Belakangan kabar angin semakin santer Sukatani diajak menjadi Duta Polri. Apakah mau idiologi mereka dibeli? Wallahualam.

Islamic Punk: Perlawanan yang Berakar dari Agama

Jika di Barat ada Christian Punk, Sukatani adalah Islamic Punk. Dalam lagu “Pesantren Kilat”, mereka menyentil fenomena belajar agama secara instan—yang justru melahirkan fanatisme buta.

“Dunia aku datang, akhirat aku tendang.”
Itu lirik pembuka mereka. Agama bukan sekadar simbol, bukan sekadar tampilan. “Orang-orang sibuk mengejar surga, tapi lupa jadi manusia,” kata Novi dalam konser mereka yang terakhir.

Mereka yang tak paham punk, menganggap Sukatani sesat. Yang merasa tersindir, ingin membungkam. Tapi di tengah semua tekanan, Sukatani tetap berdiri.

Dalam lagu “Gelap Gempita”, mereka menyanyikan:
“Di dalam otak mereka, hanyalah kekuasaan.
Di dalam hati mereka, tak ada kepuasan.
Di dalam cara mereka, terpampang kedzaliman.
Di dalam harap mereka, cahaya kemenangan.”

Sukatani adalah suara petani yang tak punya sawah, buruh yang upahnya diperas, mahasiswa yang dikebiri haknya berpikir.

Di lagu terakhir mereka, “Taman Kemandirian”, mereka mengajak kita untuk tidak berharap kepada penguasa. Harapan sering kali hanya jalan menuju kekecewaan. Yang bisa diandalkan adalah diri sendiri.

Sukatani mungkin dikecam, ditindas, dibungkam. Tapi mereka tidak bisa dihancurkan.

Mereka mengira mengubur Sukatani, padahal mereka adalah benih.
Mereka mengira membakar Sukatani, padahal mereka adalah kembang api yang berwarna-warni.

Sedikit Syair tentang Punk: Api yang Tak Padam*

Mereka bilang suaramu hanya gaduh
Padahal itu doa yang kau pekikkan di jalan
Mereka bilang kau pemberontak tanpa arah
Padahal kau hanya ingin keadilan

Mereka suruh kau tunduk, kau tertawa
Mereka suruh kau diam, kau bernyanyi
Mereka suruh kau pergi, kau menetap
Mereka pikir kau sendiri, padahal kau adalah kita

Angin membawa namamu ke gang-gang sempit
Sungai menyanyikan lagumu ke muara
Di warung kopi, di emperan toko,
Di sudut-sudut kota yang tak mereka lihat

Mereka membakar rumahmu, kau membangun lagi
Mereka merobek karyamu, kau menulis lagi
Mereka menutup panggungmu, kau bernyanyi lagi

Karena nyala api tak bisa dipadamkan
Karena perlawanan adalah udara
Karena di dunia yang penuh dusta
Suaramu adalah kebenaran. (*)