Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Minangkabau di Persimpangan Aksara

March 12, 2025 17:45
IMG-20250312-WA0124

Cerpen Imajiner: Rizal Tanjung

HATIPENA.COM – Di sebuah warung kopi tua di kaki Gunung Marapi, asap rokok berbaur dengan wangi kopi kawa daun. Sejumlah tokoh besar Minangkabau duduk mengelilingi meja kayu panjang. Mereka tidak berasal dari zaman yang sama, tapi malam itu, globalisasi telah menyatukan mereka dalam perbincangan paling panas di Ranah Minang.

“Globalisasi itu seperti air bah,” kata Sutan Takdir Alisjahbana, meletakkan cangkir kopinya. “Kita bisa menahannya, tapi lebih baik kita buat bendungan dan mengarahkannya ke ladang-ladang kita sendiri.”

Buya Hamka menghela napas, menyesap kopinya pelan. “Tapi Sutan, jika bendungan itu jebol, kita hanyut. Anak-anak kita sekarang lebih kenal ‘influencer’ daripada intelektual. Mereka lebih suka konten lima belas detik daripada membaca buku.”

A.A. Navis tersenyum sinis, mengetuk-ngetuk meja. “Bukankah sudah kukatakan di Robohnya Surau Kami? Kita terlalu sibuk dengan mimpi surga, tapi lupa membangun kehidupan. Sekarang, kita sibuk dengan budaya luar, tapi buta terhadap akar sendiri. Bukankah ironis?”

Chairul Harun, yang sedari tadi diam, akhirnya angkat suara. “Tapi globalisasi tidak selalu buruk. Lihatlah, kita sekarang bisa mengenalkan sastra Minangkabau ke seluruh dunia dalam hitungan detik. Masalahnya, siapa yang peduli? Sastra kita bukan lagi kuda pacu, hanya kuda beban yang ditinggalkan di kandang.”

Seorang pria berkacamata, Wisran Hadi, mengangkat tangannya. “Biar kuberi perumpamaan. Jika tradisi kita adalah rumah gadang, sekarang rumah itu sudah dimasuki orang-orang asing. Mereka mengatur perabotan, mengubah tata letak, dan kita hanya duduk di sudut, melihat dengan pasrah.”

Hamid Jabbar tertawa kecil. “Wisran, jangan terlalu dramatis. Aku justru melihat ini sebagai peluang. Bukankah dengan teknologi, kita bisa menulis lebih banyak, menyebarkan lebih luas?”

Abrar Yusra menimpali, “Tapi Hamid, seberapa banyak dari kita yang benar-benar peduli? Masyarakat sekarang lebih suka menonton sinetron daripada membaca Di Bawah Lindungan Ka’bah. Mereka lebih memilih TikTok daripada puisi.”

Darman Moenir mengangguk. “Masalahnya bukan di teknologi, tapi di mentalitas. Literasi kita sedang sekarat. Jika Minangkabau adalah surau ilmu, maka sekarang surau itu kosong, hanya tinggal gema masa lalu.”

Buya Hamka menghela napas panjang. “Mungkin kita perlu kembali ke surau, bukan hanya secara fisik, tapi secara intelektual. Mengembalikan minat baca, menggairahkan sastra, dan menghidupkan kembali ruh intelektual Minangkabau.”

Sutan Takdir Alisjahbana tersenyum tipis. “Hamka, itu tugas yang berat. Kita berhadapan dengan generasi yang lebih suka skrol layar daripada membuka buku. Kita seperti berbicara dalam bahasa yang tak mereka mengerti.”

“Apa kita menyerah?” tanya Chairul Harun tajam.

“Tidak!” sahut mereka serempak.

Malam semakin larut. Kopi semakin dingin. Tapi diskusi mereka terus menghangat. Di luar, globalisasi terus mengalir deras, tapi di dalam warung kopi itu, para pemikir Minangkabau masih bertahan, berjuang agar aksara mereka tak tenggelam di lautan zaman.

Pagi datang, dan warung kopi itu sepi. Hanya ada jejak cangkir-cangkir kosong dan asap yang masih tersisa. Seperti literasi Minangkabau, masih ada, tapi samar. Pertanyaannya: siapa yang akan menghidupkannya kembali? (*)

Padang, 2025.