Bagindo Mohammad Ishak Fahmi
Kaba “Catuih Ambuih”
Menjahit Fragmen, Merajut Ekosistem
HATIPENA.COM – Kesenian dan kebudayaan bukanlah entitas yang kehilangan tempat di tengah masyarakat. Ia selalu hadir, bahkan dalam sunyi yang tak terdengar oleh gemuruh arus utama. Bukan pula dukungan yang menjadi masalah utamanya, tetapi fragmentasi—para pelaku seni berjalan sendiri-sendiri, terjebak dalam labirin ego, narasi personal, dan miskin dialog. Lebih tragis lagi, di antara sesama pelaku sering kali terjadi saling curiga, bahkan menyebar informasi negatif yang justru melemahkan ekosistem seni itu sendiri.
Namun, apakah ini alasan untuk menyerah?
Tentu tidak.
Justru di sinilah diperlukan semangat “militansi kultural,” bukan dalam makna agresi fisik, melainkan keteguhan hati, konsistensi, dan keberanian melawan stagnasi.
Dari Fragmentasi Menuju Ekosistem: Membangun “Tupang Manupang”
Konsep “tupang manupang”—saling menopang—bukan hanya slogan indah, tetapi sebuah prinsip dasar dalam membangun ekosistem kesenian yang sehat. Ekosistem bukan sekadar kumpulan komunitas, tetapi jaringan yang saling berhubungan, di mana setiap simpul memberi dan menerima energi.
Dalam pandangan Gilles Deleuze, seorang filsuf post-strukturalis Prancis, dunia ini bukanlah struktur hierarkis, melainkan “rizoma”—jaringan akar yang menyebar ke segala arah tanpa pusat tunggal. Kesenian harus menjadi rizoma:
Tumbuh liar,
Terhubung tanpa batasan teritorial,
Dan bebas dari dominasi satu otoritas tunggal.
Kegiatan seperti “Kaba Festival” dan “Festival Tanggal 3” oleh Nan Jombang Dance Company, atau gerakan komunitas “Nan Tumpah,” “Kuflet” di Padang Panjang, serta “komunitas sastra di Payakumbuh” , ada “komunitas ruang” kumpulan perupa dan lainnya, adalah akar-akar rizomatik yang sudah tumbuh. Tantangannya adalah bagaimana akar-akar ini saling menjalar dan bertemu di tanah yang sama: tanah kolaborasi.
“Militansi Kultural”: Konsistensi sebagai Bentuk Perlawanan
Antonio Gramsci, seorang pemikir Italia, berbicara tentang konsep “hegemoni budaya”—bagaimana ide dominan mengontrol masyarakat secara halus. Dalam konteks ini, militansi kultural bukan berarti melawan secara frontal, melainkan membangun wacana alternatif yang konsisten dan berkelanjutan.
Militansi adalah ketika komunitas seni tetap bergerak meski tanpa sorotan media.
Militansi adalah ketika panggung kecil di sudut kampung memiliki semangat yang sama besarnya dengan panggung megah di ibu kota.
Militansi adalah keyakinan bahwa setiap karya seni, sekecil apa pun, memiliki makna dalam merawat ingatan kolektif sebuah bangsa.
Nan Jombang Dance Company dan komunitas-komunitas seni lainnya di Sumatera Barat adalah contoh nyata militansi ini. Mereka hadir tanpa pamrih pengakuan, tapi konsisten menciptakan ruang bagi seni untuk bernapas.
“Ambau Baambauan” dan “Imbau-Imbauan”: Filosofi Relasi dalam Kebudayaan
Dalam kebudayaan Minangkabau, istilah “ambau baambauan” dan “imbau-imbauan” mencerminkan konsep relasi yang hidup. Bukan sekadar komunikasi satu arah, tetapi sebuah resonansi—di mana satu suara memanggil, dan suara lain menjawab, menciptakan harmoni dalam perbedaan.
Martin Buber, seorang filsuf eksistensialis, dalam bukunya “I and Thou” (Aku dan Engkau), menjelaskan bahwa hubungan sejati terjadi bukan saat kita melihat orang lain sebagai objek, tetapi sebagai subjek yang setara. Dalam konteks kesenian, ini berarti:
Bukan soal siapa yang lebih unggul,
Tapi bagaimana kita saling hadir dalam ruang yang sama, saling mengakui eksistensi, dan saling memberi makna.
Festival seni bukan hanya ajang pamer karya, tetapi ruang dialog.
Ruang di mana puisi bertemu dengan tari,
Musik berdialog dengan teater,
Dan tradisi bertukar nafas dengan inovasi.
Simbiosis Mutualisme: Dari Ego Komunitas ke Ekosistem Kolaboratif
Ekosistem yang sehat bukanlah ekosistem tanpa konflik, tetapi ekosistem yang mampu mengelola perbedaan menjadi energi kreatif.
Dalam ekologi, dikenal konsep “simbiosis mutualisme,” di mana dua makhluk hidup yang berbeda saling menguntungkan. Inilah yang harus menjadi model bagi komunitas seni:
Bukan bersaing untuk tampil paling depan, tetapi saling mendorong agar semua bisa bergerak maju.
Bukan saling menutupi, tetapi saling menerangi.
Paulo Freire, seorang filsuf pendidikan asal Brasil, menulis dalam “Pedagogy of the Oppressed” bahwa “dialog adalah inti dari proses pembebasan.” Seni yang terkotak-kotak adalah seni yang terpenjara. Hanya melalui dialog, kolaborasi, dan saling mendengar, ekosistem seni bisa menjadi ruang yang membebaskan.
Peran Negara: Dari Fasilitator Menjadi Katalisator
Banyak yang berharap pemerintah hadir sebagai penyelamat kesenian. Namun, pemerintah bukanlah dewa penolong. Ia hanya akan mendukung jika melihat potensi nyata. Tugas kita adalah menunjukkan bahwa seni bukan sekadar hiburan, tetapi kekuatan transformatif dalam masyarakat.
Jürgen Habermas, filsuf Jerman, berbicara tentang “ruang publik”—area di mana masyarakat sipil berdebat, berdiskusi, dan membentuk opini. Seni adalah bagian dari ruang publik itu.
Ketika seni hadir di tengah masyarakat,
Membangun narasi kritis,
Dan menggerakkan diskusi sosial,
Pemerintah tidak bisa lagi mengabaikannya.
Strategi Menuju Ekosistem Kesenian yang Saling Menopang
Membangun Forum Kolaboratif: Ruang rutin bagi komunitas seni untuk berdiskusi, merancang program bersama, dan bertukar pengalaman.
Festival Bersama: Mengintegrasikan berbagai format seni dalam satu ajang, dari seni tradisi hingga kontemporer, menciptakan ruang lintas disiplin.
Pemetaan Kultural: Dokumentasi sistematis tentang komunitas seni di berbagai daerah untuk memahami potensi dan kebutuhan mereka.
Literasi Budaya: Program edukasi untuk memperkenalkan pentingnya kolaborasi kepada generasi muda, baik di sekolah maupun di komunitas.
Advokasi Kebijakan: Mengorganisir pertemuan dengan pemerintah untuk mengadvokasi kebijakan yang mendukung ekosistem seni yang berkelanjutan.
“Seni yang Menghidupi, Bukan Hanya Dihidupi”
Kesenian dan kebudayaan adalah cermin peradaban. Jika cermin itu retak karena fragmentasi, tugas kita bukan membuangnya, tetapi merakitnya kembali, pecahan demi pecahan, hingga menciptakan refleksi yang lebih utuh.
Kita mungkin datang dari akar yang berbeda,
Tumbuh di tanah yang berbeda,
Tapi kita semua menghadap ke langit yang sama—langit kebudayaan yang luas.
Karena pada akhirnya, seni bukan soal siapa yang tampil paling terang, tetapi bagaimana kita semua saling menerangi.
Bukan tentang siapa yang berbicara paling lantang, tetapi bagaimana suara-suara kecil menemukan gema dalam kebersamaan.
“Dari resonansi yang sederhana, lahirlah simfoni yang menggetarkan dunia.” (*)
Padang, 31 Januari 2025.