Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Agama Masa Depan?

March 13, 2025 10:03
IMG-20250313-WA0042

Oleh ReO Fiksiwan

HATIPENA.COM – Agama masa depan akan menjadi agama kosmik. Itu harus melampaui Tuhan pribadi dan menghindari dogma dan teologi. Hal itu, baik alami maupun spiritual, harus didasarkan pada perasaan agama yang timbul dari pengalaman semua hal dimaksud alami sebagai kesatuan yang bermakna. — Albert Einstein(1879-1955).

Menurut catatan sejarah, agama tertua di dunia adalah Brahmanisme. Ditaksir munculnya sekitar 8000-6000 SM. Agama ini berasal dari India dan merupakan cikal bakal agama Hindu.

Brahmanisme percaya pada kekuatan alam yang berasal dari para dewa dan dewi, seperti Dewa Matahari( सूर्य ), Dewa Api(Agni) dan Dewa Siwa.

Meski sejarah agama sangat kompleks dan sulit untuk menentukan kapan munculnya, beberapa agama yang dianggap tertua di dunia antara lain:
Hindu(7000-6000 SM) dan masih dipraktikkan hingga saat ini.

Kemudian, Yahudi(6000 SM) dari Timur Tengah dan merupakan salah satu agama monoteistik tertua di dunia. Menyusul Buddha(2600 SM) yang berjaya di India, Nepal dan Asia, termasuk Indonesia sejak dinasti Saiylendra pada 751.

Menilik sejarah agama sejak ribuan milenial lampau, pantas mengajukan tanya: ada apa dengan masa depan agama-agama yang banyak penganutnya seperti Kristen dan Islam?

Sebagai bagian integral dari kehidupan manusia selama ribuan tahun, agama dewasa ini tumbuh dalam perubahan sosial, politik, ekonomi yang cepat dan masif.

Karena itu, tantangan dan peluang baru bagi masa depan agama-agama memerlukan pendekatan adaptif yang cair. Tentu, tanpa musti menanggalkan prinsip akidah dasarnya.

Betapapun agama telah menjadi sumber kekuatan, inspirasi dan identitas bagi miliaran orang di seluruh dunia, perubahan demografi, globalisasi, dan kemajuan teknologi telah ikut mempengaruhi cara orang berinteraksi dengan agama.

Perubahan demografi, sebagai salah satu tantangan masa depan agama, dapat menyebabkan pergeseran dalam komposisi agama di berbagai negara.

Misalnya, jumlah umat Muslim di Eropa telah meningkat secara signifikan dalam beberapa dekade terakhir. Hal ini, tentunya, telah mempengaruhi cara agama diintegrasikan ke dalam masyarakat mutakhir dengan segala kompleksitasnya.

Namun demikian, perubahan demografi dan globalisasi, pun ikut membuka peluang baru bagi agama. Misalnya, kemajuan teknologi, terutama hadirnya kecerdasan buatan(AI), makin memungkinkan orang untuk berinteraksi dengan agama secara lebih mudah dan fleksibel.

Media sosial dan platform daring telah memungkinkan orang untuk berbagi pengalaman agama dan berinteraksi dengan orang lain yang memiliki keyakinan yang sama secara lebih mutualistik.

Setidaknya, variasi-variasi pengalaman agama yang didedahkan William James awal abad-20 silam(1902), telah dilampaui oleh pengalaman agama abad-21 yang makin disesaki prinsip-prinsip saintek yang canggih, memukau dan menghipnotis.

Gagasan-gagasan suci agama, menurut Rudolf Otto, yang dulunya sangat menakjubkan — mysterium-tremendum-fascinosum — kini bergeser pada keajaiban sains dan teknologi itu sendiri. Dengan kata lain, agama candu versi Karl Marx justru berbalik jadi „sainstek candu“ bagi masyarakat mutakhir.

Untuk itu, masa depan agama — apapun yang berkembang pesat di luarnya — akan menentukan bagaimana kemampuan agama untuk beradaptasi dengan perubahan dunia yang makin sekuler tanpa ampun. Charles Taylor(93), filsuf asal Canada, perlu menguak tabir era sekuler pada hampir 1000 halaman bukunya, The Secular Age(2007).

Walhasil, dalam era apapun, agama harus dapat berinteraksi dengan perubahan demografi, globalisasi, dan kemajuan sainstek secara progresif-adaptif.

Atau, agama pun harus dapat menawarkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang dihadapi oleh masyarakat modern, terutama ihwal tafsir eskatologis agama di tengah kehadiran „agama AI.“

Selain dapat berinteraksi dengan perubahan demografi, globalisasi dan kemajuan sainstek, garansi masa depan agama harus dapat menawarkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan pelik yang dihadapi deontologi masyarakat superlatif dewasa ini. (*)

Rujukan:

  • Berger, P. L. (1967). The Sacred Canopy: Elements of a Sociological Theory of Religion. Doubleday.
  • Davie, G. (2013). The Sociology of Religion: A Critical Agenda. Sage Publications.
  • Meillassouw, Quentin. (2006). After Finitude:
    An Essay on the Necessity of Contingency.
    L‘Ordee Philosophique Seuil.
  • Taylor, C. (2007). A Secular Age. Harvard University Press.