Oleh: Rizal Tanjung
HATIPENA.COM – Tulisan di atas menggambarkan agama sebagai sesuatu yang cair, fleksibel, dan lebih merupakan warisan budaya daripada keyakinan mutlak. Dalam Islam, pemahaman semacam ini mengandung kekeliruan mendasar karena bertentangan dengan hakikat agama yang diturunkan oleh Allah sebagai kebenaran mutlak yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Berikut ini adalah kritik terhadap beberapa poin utama dalam tulisan tersebut, disertai dengan dalil-dalil yang akurat.
- Agama Bukan Sekadar Warisan Budaya, Melainkan Kebenaran Mutlak dari Allah
Tulisan tersebut menyatakan bahwa agama lebih sebagai warisan budaya yang dapat diakses dan dinikmati siapa saja tanpa perlu komitmen penuh. Ini bertentangan dengan Islam yang menegaskan bahwa agama adalah wahyu dari Allah yang harus diikuti secara totalitas, bukan hanya diambil sebagian untuk kepentingan duniawi.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
“Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah hanyalah Islam…” (QS. Ali ‘Imran: 19)
“Barang siapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Ali ‘Imran: 85)
Dua ayat ini jelas menunjukkan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar, bukan sekadar warisan budaya yang bisa dipilih atau ditinggalkan sesuka hati.
- Pluralisme Agama Bertentangan dengan Konsep Tauhid
Penulis menyebut bahwa agama kini menjadi sesuatu yang bisa “diambil sebagian dan ditinggalkan sebagian,” sehingga seseorang bisa mengadopsi meditasi Buddha, tetapi tetap menerima kasih Kristiani, atau menikmati puisi Sufi tanpa menjadi Muslim. Ini adalah konsep pluralisme agama yang bertentangan dengan tauhid dalam Islam.
Allah berfirman:
“Apakah kamu beriman kepada sebagian Kitab dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Maka tidak ada balasan bagi orang yang berbuat demikian di antara kamu selain kehinaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari Kiamat mereka dikembalikan kepada azab yang paling berat.” (QS. Al-Baqarah: 85)
Islam tidak membolehkan pencampuran ajaran agama. Dalam tauhid, seseorang harus mengesakan Allah dan mengikuti syariat-Nya secara menyeluruh, bukan mengambil sebagian ajaran agama lain karena dianggap relevan secara spiritual.
- Menghilangkan Batasan Agama Akan Merusak Syariat
Tulisan ini mencoba membentuk pemahaman bahwa batasan agama tidak lagi relevan. Padahal, Islam memiliki aturan yang jelas dalam segala aspek kehidupan. Jika batas-batas agama dihilangkan, maka yang tersisa hanyalah kebebasan individu yang bisa berujung pada relativisme moral dan dekadensi spiritual.
Allah berfirman:
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (QS. Al-Jasiyah: 18)
Jika manusia bebas menafsirkan agama tanpa batasan, maka aturan-aturan dalam Islam seperti salat, zakat, puasa, dan haji akan dianggap tidak relevan dan hanya menjadi “ritual budaya” semata. Ini jelas bertentangan dengan Islam.
- Agama Bukan Produk Evolusi, tetapi Wahyu Ilahi yang Tetap
Tulisan ini menggambarkan agama sebagai sesuatu yang berevolusi sesuai zaman. Ini bertentangan dengan Islam yang menegaskan bahwa agama telah sempurna dan tidak memerlukan perubahan.
Allah berfirman:
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agamamu, telah Aku cukupkan nikmat-Ku atas kamu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu.” (QS. Al-Ma’idah: 3)
Islam sudah sempurna dan tidak perlu dimodifikasi sesuai perkembangan zaman. Jika agama hanya dipandang sebagai sesuatu yang berkembang secara sosial dan budaya, maka hukum-hukum syariat bisa dengan mudah diubah atau diabaikan.
- Spiritualitas Tanpa Syariat Menyesatkan
Tulisan tersebut menggambarkan bagaimana orang bisa tetap “spiritual” tanpa harus mengikuti aturan agama secara ketat. Ini adalah bentuk kesesatan yang berbahaya. Dalam Islam, spiritualitas tidak bisa dipisahkan dari syariat. Seorang Muslim harus menjalankan ibadah sesuai aturan Allah, bukan hanya merasakan “kedamaian” tanpa kepatuhan terhadap hukum-hukum-Nya.
Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
“Barang siapa melakukan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka amalan itu tertolak.” (HR. Muslim, no. 1718)
Konsep “spiritual but not religious” adalah bentuk penyimpangan yang menjauhkan manusia dari agama yang benar.
Kesimpulan: Islam Menolak Relativisme Agama
Tulisan di atas mencoba melemahkan esensi agama dengan menjadikannya sebagai sesuatu yang fleksibel dan universal, padahal Islam adalah agama yang tegas dan memiliki hukum yang tetap. Islam menolak gagasan bahwa semua agama sama atau bahwa manusia bisa mengambil sebagian ajaran agama dan meninggalkan yang lain sesuai keinginan pribadi.
Dengan demikian, konsep agama sebagai “warisan budaya milik bersama” adalah paham yang bertentangan dengan Islam. Islam adalah satu-satunya kebenaran yang tidak bisa disamakan dengan tradisi atau budaya lain. Agama bukan sekadar inspirasi, tetapi adalah pedoman hidup yang wajib diikuti secara menyeluruh sesuai dengan wahyu Allah. (*)
Wallahu a’lam.
Padang, 2025.